Dinginnya suhu di musim dingin negara ini tidak lazim untuk sebuah negara yang berada di Gurun Timur Tengah. Beberapa kali tercatat dipagi hari angka menunjukan 1 digit 7-9 derajat celcius yang mana ini setara dengan puncak gunung semeru atau gunung-gunung lain yang ada di Indonesia pada waktu tertentu. Padahal ini di tengah gurun, pikirnya. Sebut saja si Jalu anak penjual nasi kuning, nasi pecel di sebuah pasar pagi di Balikpapan. Jalu berasal bukan dari keluarga yang berkecukupan, si Jalu kecil harus bangun sebelum subuh untuk membantu membawakan dagangan yang harus segera diantar dengan menggunakan sepeda motor yang untuk membawanya membutuhkan keseimbangan yang baik, karena ada beberapa barang di tengah motor dan diapit  dengan paha ayahnya agar tidak jatuh, sisanya dipangku ibunya dikanan dan dikiri seraya memeganginya. Doa yang diucapkan Jalu selalu sama, agar mereka berdua sampai ke Pasar dengan selamat.
Hari libur sekolahpun dimanfaatkan Jalu untuk membantu Ibunya berjualan di Pasar, walau hanya sekedar mencuci piring dan membuat minuman Teh yang sebenernya sudah disiapkan Teh pekat yang hanya perlu ditambahkan air panas atau Es batu. Rasa malu kadang menghampiri karena ini bukan kehidupan normal anak sebayanya, bagaimana jika ada teman-teman sekolah/guru yang melihat, itu terkadang mampir dibenaknya, tetapi rasa ingin membantu Ibunya lebih kuat dari kekhawatiran yang lain.
Ayah Jalu adalah seorang pemborong / mandor di Bangunan, sebutan itu hanya untuk orang yang menerima proyek dan mengelola keuangan yang digunakan untuk membeli material atau sekedar hanya untuk penggajian para kuli dan asistennya, namun konon katanya Ayah jalu yang terlalu jujur karena tidak ingin bermain-main dengan spek material bangunan yang dikurangi demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, dan terlalu loyalnya dengan anak buahnya hingga terkadang uang rokok dan makanan tidak dipotong gaji, kerap kali setiap akhir kontrak bukan untung melainkan rugi yang didapat.
Masa SMP pun Jalu sering diajak ayahnya di proyek bangunan untuk ikut bekerja, didikan yang mengajarkan untuk disiplin, kuat secara fisik dan mental serta bisa menghargai sebuah kerja keras, karena bayaran yang didapatkan disamaratakan dengan anak buah yang lain, 50rb untuk pekerjaan normal dan 75rb untuk pengecoran. Didikan seperti ini yang menempa mental Jalu walaupun hal ini juga yang membuatnya punya pemikiran untuk tidak mengikuti jejak ayahnya. "Aku harus bisa punya pekerjaan dengan bayaran lebih baik dan tidak banyak menggunakan fisik agar bisa menafkahi keluarga kelak" pikirnya.
Melihat keluarga kawan sebayanya di sekolah dengan ekonomi yang lebih baik membuat jalu melakukan sedikit riset dengan bertanya ke orang tua dari teman-temannya, apa pekerjaan mereka dan adakah profesi di tempat kerja mereka yang lebih banyak menggunakan otak dibandingkan fisik tetapi mendapatkan gaji yang besar, akhirnya jawaban yang didapat mengkerucut pada profesi seorang "Geologist". Profesi yang menjadi target utama jalu hingga berhasil menempuh pendidikan di salah satu Universitas terbaik di Indonesia, Profesi yang membuat Jalu bekerja di perusahaan multinasional baik di dalam dan luar negeri nantinya. #Bersambung.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI