Sungguh aku tak pernah paham apa yang ada di otak si Arok, ketika nglirik nyamping/jarik (n)Dedes yang sedikit tersingkap serta memancarkan cahaya mablak-mablak dari sana. Padahal Arok marfum ‘n paham, (n)Dedes milik bossnya, Tunggul Ametung pensiunan begal juga yang direkrut Kertajaya untuk menjadi Akuwunya di Tumapel. Tetapi dasar Arok juga bekas begal, pager ayu tak bakalan bisa ngerem urusan libidonya. Kisah selanjutnya tentu saja kita semua sudah hapal diluar kepala.
Ametung, bos nya sendiri di limpe, akuwu gaek yang pro-Kediri itu dieksekusi dengan sebilah cundrik ligan pada saat dia tidur. Tentu saja begal kita, Arok tidak berhenti di situ, dengan setting sempurna bahwa bossnya mati oleh Keris kecil telanjang buatan mpu Gandring yang sebelumnya selalu ditenteng-tenteng si Kebo Ijo itu, Arok menangkap dan membunuh Kebo Ijo dengan keris yang sama. Kebo Ijo akhirnya jadi Kambing Hitam, ironis, kebo turun derajad jadi kambing, dan pahlawannya tentu saja begal kita, Arok!
Singgasana Tumapel yang berada dalam status quo sepeninggal Ametung, tentu saja menjadi hak Arok. Plus bonusnya tentu, janda kembang cantik kinyis-kinyis, (n)Dedes anak mpu Purwa dari Panawijen. Coup d’etat yang cantik dan sempurna.
Begitulah 'de, selalu kisah suksesi. Tak ketinggalan juga di tanah Jawa kita tercinta ini, yakni menyertakan darah sebagai menu utamanya. Sebutkan namanya, dari mulai mpu Gandring, Tunggul Ametung, Arok sendiri -yang belakangan mati oleh anak tirinya Anusapati- dengan keris yang sama, Anusapati oleh Tohjaya -anak Arok dengan Umang-, dan Tohjaya yang dihabisi oleh keturunan Anusapati.
Atau memang begitukah logika sebuah kesuksesan dan kekuasaan? Tujuan menghalalkan cara?
Balik lagi ke tokoh kita yang bekas rampok ini. Tak hanya berpuas diri telah memiliki Dedes dan Tumapel sekaligus, Arok mulai melirik ke Kediri. Disini naluri bisnisnya mulai bermain, Kediri kemudian diakuisisinya dan Singasari ditegakkan menggantikan puing-puing kerajaan keturunan Airlangga itu.
Dan darah Arok-Dedes lah kemudian yang mengalir pada-raja-raja jawa selanjutnya.
Singasari-Arok-Anusapati-Tohjaya-Ranggawuni-Kertanegara. Majapahit-Wijaya-Kalagemet-Tribuana-Hayamwuruk-Wikramawardana-Suhita-Kertawijaya-Rajasawardana-Girishawardana-Suprabawardana-Kertabumi-Girindawardana-Udara. Demak-Patah-Unus-Trenggana-Prawoto. Pajang-Hadiwijaya-Benawa. Mataram- Sutawijaya-Mas Jolang- Mas Rangsang-dll.
“Wait a minute!” sela ‘de kus yang dari tadi mendengarkan dongengku dengan nada terkaget kaget, “kayaknya kok ada yang salah dan tidak berada ditempatnya ya om?, masa sih raja-raja besar Jawa masa lalu kakek moyangnya ‘hanya’ jelata, bekas garong pula..” bantahnya lebih lanjut.
“Ini bahaya lho broder, menyangkut legitimasi genealogis. Betapa kacaunya tatanan kejawen kala itu kalau begal, maling, garong lan rampok boleh merasa berhak menjadi raja dengan jenjang karir yang simple, you rakyat jelata, jadilah begal, bunuh penguasa dan jadi deh raja” ‘de kus masih membantah dengan argumentasi tepat sasarannya seperti biasanya.
“Ya begitulah ‘de” jawabku sambil nerusin dongeng yang terpotong, maka dari itu belakangan kita mengenal Pararaton (kitab raja-raja) atau Nagarakertagama yang menyelamatkan citra kakek moyang raja-raja Jawa. Versi Pararaton mengisahkan Arok sebagai titisan Wisnu yang anak Brama, plus di angkat anak oleh Shiwa.
Setidaknya begitulah Arok versi Pararaton. Kisah Pararaton bermula ketika Ki Lembong -seorang maling- menemukan bayi yang bersinar. Melihat bayi mungil dan cerdas itu Ki Lembong kemudian membawa oleh-olehnya itu pulang dan memilih memeliharanya. Tentu saja karena digulawentah oleh maling, semua ilmu yang dipelajari Arok adalah ilmu permalingan paling mutakhir kala itu, maka jadilah Arok maling peng-pengan yang mengancam kredibilitas Tumapel dan Kediri secara umum.
Hebatnya, walau seorang maling dewa-dewa kala itu sangat mengasihinya. Bahkan seringakali ketika sedang menjalani profesinya sebagai malingpun dewa senantiasa melindunginya. Berkali-kali atas campur tangan dan veto para dewa Arok selalu lolos dari kesulitan.
Bahkan keberpihakan dewa mencapai puncaknya -masih versi Pararaton- pada sebuah rapat para dewa di Gunung yang mengeluarkan surat keputusan (SK), yang pada intinya menetapkan bahwa Arok, selain menjadi son of god sekaligus ia ditetapkan sebagai pembawa risalah dan pembentuk/penjaga kestabilan kekuasaan di tanah Jawa.
Hueeebat nian kan cerita Arok versi Pararatoni ini??
“Lho memangnya siapa penulis Pararaton?” tanya ‘de kus lebih lanjut, “Justru disinilah masalahnya ‘de” jawabku. Sang penulis Pararaton tak menyisakan satupun petunjuk tentang siapa dirinya. Di akhir kisah Pararaton penulisnya hanya menulis nama desa dan catatan waktu ketika dia menyelesaikan tulisannya yakni 1535 Saka atau tepatnya 3 Agustus 1613.
Jadi bila menengok tanggal itu, tentunya kita jadi ngeh bahwa Pararaton ditulis sejaman dengan berkuasanya Sultan Agung di Jawa. So, tak berlebihan kiranya bila kemudian kita dimasa kini bisa saja menyebut raja-raja Jawa merupakan keturunan maling bukan?
“Nuwun sewu nggih kanjeng sultan, mboten bade nyalon presiden malih kan?” kataku menutup dongeng yang panjang x lebar x tinggi ini sambil bergaya munduk munduk merapatkan tangan model menyembah ke arah ‘de kus.
Mesam mesem ‘de kus lalu menambahkan, begitulah broder, manusia setelah sukses, tentu akan mencoba untuk menegakkan kredibilas dari kesuksesannya, baik secara de yure maupun de facto. Entah darimana itu berasal, semua mencari pembenaran diri, dan itu wajar, manusiawi dan organik. Ambil contoh kecil, Si penanggung jawab tragedy Lapindo misalnya...
"hus, hati hati 'de menawi ngendiko, nanti om ical marah lho!" potongku.
Ghedek-ghedek mendengarkan wejangan bijak ‘de kus, aku nyaut cangkir kopi yang isinya sudah mulai dingin itu dan nenyruputnya, dalam hatiku berkata, jarene urip mung mampir ngombe, nak mampir ngombe aja bisa ruwetnya macam begini, mungkin pepatah itu kurang betul.
Atau mungkin yang betul; hidup adalah legitimasi dan pencapaian. Dan sebuah pencapaian tentunya perlu cost; biaya! Yang kadang memang berat tanggungannya, bisa dunia akherat kita nyicil nebus biaya tersebut, dengan begitu mungkin ronggowarsito yang bener, Jer Basuki Mowo Beyo: semua tujuan itu memerlukan biaya...
Sebut aja, mulai kita lahir kita butuh biaya persalinan, lalu biaya susu, biaya pendidikan, biaya ngelamar kerjaan ato biaya modal kerja, bahkan kerja masuk jadi pagawai negeri aja biaya siluman lagi, bahkan sampai mau ngubur bangkai kita pun perlu biaya.
Nah tapi biaya hidup paling banyak tuh: Biaya krimbat kumis, lalu diikuti biaya masuk jadi pegawai PEMDA, biaya sekolah di Jerman (biar keliatan seperti ahli-nya tata kota buat modal ikutan PILKADA), biaya ngojek kendaraan partai penguasa, biaya ngajakin konvoi puluhan partai gurem, biaya survey fiktif, biaya beli dukungan artis, biaya iklan di semua TV swasta, biaya pasang baliho segedhe Godzilla, biaya koordinasiin semua camat, kepala desa, rw, rt se jakarta dan masih harus ngeluarin biaya yang sama untuk putaran ke-2. HEDEH…mahal cuy…
Tapi ga papa, toh kekayaan ane yang gak sempet ane sembunyiin aja masih 59M, kebayang donk berapa yang berhasil ane sembunyiin...hehehe
[Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, kejadian maupun ciri ciri fisik tertentu adalah bukan merupakan kesengajaan dan tidak merujuk kepada pihak manapun]
-dv-
Still in this MF Earth
(remake dari tulisan jadul ane)
Jul 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H