Dalam hidup, tak semua saran harus dituruti. Mesti bisa memilah dan menimbang masak-masak sampai akhirnya memilih yang dirasa patut dan cocok.
Demikian setidaknya yang dikatakan Asep kepada Darmanto. Sebagai saran untuk seorang teman yang menyimpan hasrat berbisnis.
Asep memulai usaha bubur ayam tak lama usai lulus dari sekolah menengah atas di Cirebon. Berbekal sejumlah uang hasil penjualan tiga ekor kambing ayahnya, ia berkirab ke Jakarta.
Tiga perempat uang itu dibelikannya sebuah gerobak beserta perkakas masak. Sisanya dihabiskan untuk membayar sewa sepetak kamar. Remah-remahnya kemudian digunakan untuk rokok dan makan --tentu seadanya.
Beberapa hari awal di ibu kota dihabiskan Asep hanya di hunian petaknya, bergumul dengan bumbu dan bahan makanan: memasak dan menguji coba (beberapa kali meminjam lidah tetangga dengan dalih niat mulia berbagi makanan).
Dan setelah mendapat respons yang dianggap cukup baik lewat pujian yang terkadang membuat hatinya meletup-letup girang, ia memberanikan diri untuk mulai berdagang.
Tak disangka, sepekan kurang memajang gerobaknya di sudut pertigaan, pelanggan mulai berdatangan. Masuk pekan kedua, mereka sudah rela mengantre. Setelah sebulan, ia mendapat konsumen tetap yang hampir saban pagi menyantap bubur ayamnya.
Lalu pada bulan sepuluh, uang setara tiga ekor kambing itu sudah didapatnya. Asep pun semringah.
Dalam satu kesempatan berkunjung ke kampung, ia bercerita soal usahanya yang melaju pesat kepada kedua orang tua dan keluarga besarnya. Disertai kebanggaan yang terselip di dada.
Mereka membalas dengan memuji usaha kerasnya, menjuluki Asep sebagai calon saudagar besar.
Pada sebuah perpisahan yang haru, pamannya lantas menitip saran agar sang kemenakan terus giat mengembangkan usahanya. Jikalau memungkinkan, kata sang paman, berpindahlah dari gerobak di sisi jalan ke sebuah warung permanen.