Mohon tunggu...
ADITIYA NUGROHO
ADITIYA NUGROHO Mohon Tunggu... Lainnya - MAHASISWA

:)

Selanjutnya

Tutup

Film

Review Film Budi Pekerti

18 Januari 2024   22:23 Diperbarui: 18 Januari 2024   22:26 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Film "Budi Pekerti" yang disutradarai oleh Wregas Bhanuteja bukan sekadar tontonan, melainkan tamparan sekaligus cermin bagi era media sosial yang sarat keponinan dan pemujaan viralitas. Lewat kisah Bu Prani, guru BK yang difitnah, film ini mengajak kita merenung tentang bahayanya ikut arus opini tanpa verifikasi, dan betapa murahnya kita menghakimi sesama di altar digital.

Film ini dibuka dengan kehidupan sehari-hari Bu Prani, seorang guru BK yang dikenal bijaksana dan dekat dengan siswanya. Suatu hari, video yang merekam dirinya menegur murid beredar di media sosial. Video tersebut dipotong-potong, menampakkan Bu Prani marah dan kasar, sehingga memantik kemarahan netizen. Tanpa berpikir kritis, warganet menghujani Bu Prani dengan komentar negatif, bahkan menyebutnya tidak pantas menjadi guru.

Kehidupan Bu Prani seketika berubah menjadi neraka. Fitnah itu bukan hanya melukai hati, tetapi juga menghancurkan reputasinya yang telah dibangun bertahun-tahun. Ia dijauhi rekan kerja, dicemooh orang tua murid, dan terancam dipecat dari sekolah. Kekuatan "Budi Pekerti" terletak pada penggambarannya yang realistis tentang fenomena "trial by social media." Film ini mempertontonkan bagaimana media sosial dengan mudahnya menjadi arena penghakiman, tempat di mana orang-orang dijatuhi hukuman tanpa bukti yang valid. Kita melihat kerumunan netizen yang begitu cepat terbakar emosi, terpancing narasi yang sensasional, dan tak segan-segan melontarkan kata-kata kasar pada sosok yang tak bisa membela diri. Tak hanya itu, film ini juga menyoroti dampak psikologis yang dialami korban cyberbullying. Bu Prani digambarkan mengalami stres, isolasi, dan bahkan kehilangan nafsu makan. Ia merasa dikhianati, tidak berdaya, dan bertanya-tanya apakah keadilan akan pernah berpihak padanya.

"Budi Pekerti" tidak menawarkan akhir yang heroik atau katarsiks. Kegelapan tetap ada, mencerminkan realitas pahit di mana korban cyberbullying seringkali tak mampu sepenuhnya pulih dari trauma yang dialaminya. Film ini memilih untuk menjadi cerminan bagi kita, agar kita menyadari betapa berbahayanya ikut arus, menyebarkan rumor, dan ikut menghujat tanpa fakta.

Di antara kegelapan itu, film ini juga memancarkan secercah cahaya kemanusiaan. Ada sosok Muklas, siswa yang awalnya turut mengolok-olok Bu Prani, namun berbalik membelanya setelah mengetahui kebenaran. Ada pula teman-teman Bu Prani yang setia mendukungnya meski dicap pembela "guru bermasalah." Dalam konteks yang lebih luas, "Budi Pekerti" bergaung sebagai kritik terhadap budaya instan dan sensasional media sosial. Film ini mengajak kita untuk lebih jeli, bersikap kritis, dan mempraktikkan empati sebelum ikut-ikutan menghakimi di layar digital. Kita diajak untuk mengingat bahwa di balik setiap avatar, ada manusia dengan perasaan dan harga diri yang harus dihormati. Kesederhanaan "Budi Pekerti" justru menjadi kekuatannya. Dialog yang sebagian besar menggunakan bahasa Jawa terasa natural dan menyentuh, sementara akting para pemain, khususnya Angga Yunanda sebagai Muklas, begitu meyakinkan dan menguras emosi.

"Budi Pekerti" bukanlah film yang akan menghibur dengan ledakan atau adegan spektakuler. Namun, film ini akan membuat kita berpikir, merasa gelisah, dan mungkin saja meneteskan air mata. Di balik ketidaknyamanan itu, film ini menawarkan refleksi yang mendalam tentang nilai-nilai kemanusiaan yang kian terkikis di era digital, dan mendesak kita untuk menjadi pengguna media sosial yang lebih bijaksana dan bertanggung jawab.

"Budi Pekerti" bukan sekadar film, melainkan tamparan dan cermin sekaligus. Tamparan yang menyadarkan kita dari lelap digital, dan cermin yang menampilkan wajah diri kita sendiri di era media sosial yang sarat keponinan dan viralitas. Apakah kita akan terus menjadi bagian dari kerumunan yang menghakimi, ataukah kita akan menjadi seperti Muklas, berani berpihak pada kebenaran dan membela korban ketidakadilan digital? Itulah pertanyaan yang dibiarkan menggantung di akhir film, dan yang harus kita jawab sendiri dalam kehidupan nyata.

Kelebihan

Dalam konteks yang lebih luas, "Budi Pekerti" bergaung sebagai kritik terhadap budaya instan dan sensasional media sosial. Film ini mengajak kita untuk lebih jeli, bersikap kritis, dan mempraktikkan empati sebelum ikut-ikutan menghakimi di layar digital. Kita diajak untuk mengingat bahwa di balik setiap avatar, ada manusia dengan perasaan dan harga diri yang harus dihormati.

Kekurangan

Akhir yang terbuka dari "Budi Pekerti" mungkin akan menimbulkan rasa tidak puas bagi sebagian penonton. Beberapa orang mungkin berharap film ini memiliki akhir yang lebih heroik atau katarsis, di mana Bu Prani akhirnya bisa membuktikan kebenaran dan mendapatkan keadilan. Namun, akhir yang terbuka ini justru menjadi kekuatan dari film ini, karena membuat kita berpikir dan merenungkan sendiri tentang kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun