Hasil rapat pleno KPUD Deliserdang tanggal 29 Oktober 2013 tentang Rekapitulasi Perolehan Suara Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Deliserdang tahun 2013, memutuskan bahwa pemilukada Deliserdang, Sumatera Utara, berlangsung dalam dua putaran. Hal itu karena berdasarkan hasil perhitungan suara, tidak ada satupun dari 11 pasangan calon yang mencapai persentase 30% dari total suara sah (sebanyak 533.452 suara) sebagai syarat untuk dinyatakan sebagaipasangan calon terpilih pemenang pemilukada. Dua pasangan yang akan maju dalam pemilukada Deliserdang putaran II adalah pasangan nomor urut 1, Ashari Tambunan-Zainuddin Mars (AZAN) yang diusung Gerindra/PAN/PBB, dan pasangan nomor urut 6, Tengku Akhmad Thala’a-Hardi Mulyono (ABDI) yang diusung Golkar dan PPP.
Ada hal yang menarik dari keputusan KPUD ini. Yang paling kentara adalah bahwa pasangan nomor urut 1 Ashari-Zainuddin harus menerima kenyataan bahwa mereka musti melalui putaran kedua untuk dapat memenangi pemilukada ini. Padahal mereka saat ini sudah mengantongi perolehan suara sebanyak 159.965 suara, atau 29,9% dari total suara sah, alias hanya kurang0,01 % saja dari persyaratan 30% suara itu. Pasangan AZAN secara matematis hanya kekurangan suara sebanyak 70 suara saja! Barangkali bisa dibayangkan betapa gregetannya pasangan AZAN beserta tim sukses dan simpatisannya, karena hanya gara-gara suara kurang sebanyak 70 suara (kira-kira hanya seluas 1 RW di Jawa atau 1 lingkungan kalau di Provinsi Sumut) mereka harus bekerja keras lagi untuk menyongsong putaran II pemilukada Deliserdang. Lebih menyesakkan lagi, selisih suara pasangan AZAN dengan pasangan rangking di bawah mereka (ABDI) mencapai 60.569 suara! Selisih yang amat jauh dan tentu patut disesalkan hanya gara-gara kurang 70 suara saja, keunggulan 60.569 suara itu harus menguap sementara waktu. Pasangan ABDI sendiri mendapat perolehan suara 99.396 atau 18,63%.
Namun inilah konsekuensi dari sistem demokrasi, termasuk di dalamnya sistem pemilu kita. Demokrasi memang lekat dengan angka-angka, dan sering pula dengan angka-angka itu suara rakyat (yang sesungguhnya menjadi inti dari demokrasi) menjadi terpinggirkan. Salah satu contohnya adalah ketika sidang paripurna DPR RI beberapa bulan lalu yang menyetujui rancangan APBN-P 2013 yang salah satu konsekuensinya adalah penaikan harga BBM. Proses pengambilan keputusan menyetujui perubahan APBN itu diambil dengan mekanisme voting alias angka-angka, dan karena angka mayoritas kursi DPR menyetujui perubahan APBN itu, maka loloslah rencana kenaikan harga BBM oleh pemerintah, padahal di luar sana rakyat di seluruh penjuru Indonesia menolak keras rencana itu. Inilah contoh betapa demokrasi angka seringkali tak bersesuaian dengan fakta di masyarakat. Kita patut bertanya-tanya apakah sistem demokrasi berbasis angka macam ini sudah sesuai dengan yang dimaksud dalam sila keempat Pancasila, yang sesungguhnya menghendaki sistem permusyawaratan dan permufakatan dalam setiap pengambilan keputusan/kebijakan.
Kembali ke Deliserdang, Ketua KPU Deliserdang Yusri mengakui bahwa mau tak mau mereka memang harus menggelar putaran kedua pemilukada. Hal ini karena sesuai perintah Undang-Undang Pemda, jika tak ada pasangan calon yang mendapat 30% suara, maka harus diselenggarakan pemilukada putaran II yang diikuti oleh dua pasangan calon peraih suara terbanyak kesatu dan kedua di pemilukada putaran pertama. Yusri kemudian mengingatkan, bahwa disinilah arti penting dari satu suara pemilih. Satu suara saja dapat menentukan berbagai hal dalam pemilukada, apakah itu menentukan kemenangan salah satu pasangan calon, ataupun menentukan apakah pasangan calon tersebut harus/dapat mengikuti putaran kedua pemilukada atau tidak. Mengenai anggaran putaran II, Yusri mengatakan bahwa itu sudah dipersiapkan sebelumnya dalam APBD Deliserdang. Artinya dalam mata anggaran untuk pemilukada, sudah disiapkan pagu anggaran untuk pemilukada putaran kedua, alias sudah diantisipasi sebelumnya. Yusri pun mengatakan, bahwa untuk putaran kedua ini jumlah anggarannya lebih kecil daripada putaran pertama, karena untuk putaran kedua hanya memakan waktu 2 bulan persiapan saja, sedangkan pada putaran pertama dulu sampai 6 bulan persiapan sehingga dana banyak tersedot, terutama untuk honor petugas penyelenggara pemilu.
Pernyataan Yusri di atas memang ada benarnya. Dengan adanya patokan persentase absolut dalam penentuan pemenang pemilukada, maka diharapkan semua pemilih akan berlomba-lomba menggunakan hak pilihnya agar jago mereka tidak kalah hanya gara-gara suaranya kurang beberapa biji. Namun itu hanya terjadi di kondisi ideal, yaitu ketika semua rakyat pemilih antusias dalam mengikuti pemilukada. Kondisi yang terjadi saat ini, khususnya di Sumatera Utara, tingkat partisipasi rakyat untuk mencoblos amat rendah sehingga angka golput pun amat tinggi di setiap penyelenggaraan pemilukada belakangan ini. Patutkah hanya karena kurang 70 suara saja untuk selesainya satu putaran, maka duit milyaran rupiah harus digelontorkan lagi untuk menggelar pemilukada putaran II?Padahal duit segitu bisa dialokasikan untuk pos-pos lain terutama terkait dengan pengentasan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Deliserdang. Potensi “buang-buang duit” makin kentara manakala di putaran II nanti ternyata pemilih menjadi malas untuk mencoblos ke TPS karena jagonya sudah tersingkir di putaran pertama. Sia-sialah duit milyaran rupiah tadi, yang terpaksa keluar hanya gara-gara kurang 70 suara.
Rupanya hasil rekapitulasi KPUD Deliserdang ini hanya ditandantangani oleh pasangan ABDI saja, artinya hanya pasangan nomor urut 6 ini yang menerima hasil tersebut. Sedangkan pasangan lainnya termasuk pasangan AZAN sendiri tidak menandatangani berkas rekapitulasi tersebut. Barangkali AZAN agak gemas dengan kurangnya 70 suara itu. Kendati demikian, tidak menandatangani bukan berarti AZAN menolak rekapitulasi itu. AZAN tidak menerima dan tidak menolak, alias netral, alias tidak memberikan tanggapan atau disclaimer kata orang-orang BPK. 9 pasang calon yang lain yang menolak rekapitulasi itu berencana menggugat hasil perhitungan KPUD ke Mahkamah Konstitusi.
Perlu dipertimbangkan kiranya ke depan bagaimana sistem pemilukada kita. Komisi II DPR bisa merevisi aturan penetapan pasangan pemilukada. Misalnya, jika ada calon yang mendapat perolehan suara 29,9 % dari total suara sah dan selisih suaranya dengan peringkat kedua mencapai lebih dari separuh total suara pasangan pengumpul 29,9% tadi, maka putaran kedua tak perlu diselenggarakan. Duit rakyat (APBD) tidak akan keluar untuk penyelenggaraan putaran II,duit pasangan calon pun tak keluar lagi untuk prosesi kampanye, dan waktu/tenaga rakyat pun tak terbuang-buang hanya untuk mengikuti pencoblosan pemilukada putaran II, pun potensi konflik horizontal pasca pemilukada pun bakal mengecil.
Intinya, jangan abaikan substansi demokrasi hanya karena angka-angka.
***
Hal menarik lainnya adalah, “kemenangan” sementara pasangan Ashari Tambunan-Zainuddin Mars menunjukkan bahwa yang namanya politik kekerabatan masih cukup ampuh untuk mendudukkan salah satu anggota kekerabatan tersebut di posisi jabatan publik, termasuk kepala daerah. Ashari adalah adik kandung dari Bupati Deliserdang saat ini yang telah menjabat dua periode, Amri Tambunan. Hanya saja, jika Amri adalah kader Partai Demokrat, maka Ashari- Zainuddin dalam Pilbup Deliserdang ini diusung oleh Partai Gerindra, PAN, dan PBB. Bahwa kemudian AZAN lolos ke putaran kedua, (padahal calon yang diusung partai-nya Amri, Fatmawaty-Subandi justru perolehan suaranya sangat kecil, hanya 3,91%) menunjukkan bahwa dinasti kekuasaan tak musti dengan memakai perahu partai tertentu. Beda parpol pengusung pun, asal masih sedarah, tentu akan didukung. Ashari sendiri selama masa-masa pemilukada ini terlihat beberapa kali mendampingi abangnya dalam acara-acara tertentu. Bukti bahwa Amri lebih mendukung adiknya yang diusung parpol lain, ketimbang mendukung pasangan yang diusung parpol dimana ia bernaung di dalamnya. Partai Demokrat sendiri
Cerdiknya, Amri mencoba mewariskan kekuasaannya tidak hanya melalui jalur kekerabatan saja. ia juga menggunakan jalur orang di luar keluarga, tapi dekat dengannya, kita sebut saja dengan “orang dekat”. Ya, orang dekat itu hadir dalam sosok Zainuddin Mars. Melalui Zainuddin, Amri akan berusaha menarik dukungan dari kalangan birokrasi di pemkab Deliserdang agar memilih adik dan orang dekatnya untuk menjadi bupati-wabup. Inilah metode “cerdas”, menggunakan dua jalur untuk mewariskan kekuasaan. Amri juga cerdas karena tidak secara mencolok mencalonkan istrinya untuk dicalonkan sebagai cabup, padahal istrinya memiliki elektabilitas yang lumayan dan sudah dipinang pula oleh Demokrat. Amri lebih memilih meneruskan kekuasaan melalui adiknya, dan agar tak kentara sekali “politik kekerabatan”-nya, si adik kemudian diusung oleh partai lain, bukan partai-nya Amri (Demokrat).
Yang menarik juga adalah pasangan nomor urut 8, Timbangen Ginting-Parningotan Simbolon. Pasangan yang diusung PDI Perjuangan ini memang hanya berada di posisi ketiga dengan 84.780 suara atau 15,89% (artinya tak bisa lolos ke putaran II), tapi secara penguasaan pasangan ini mampu menang di 8 kecamatan, lebih banyak ketimbang pasangan nomor urut 6 Tengku Ameck-Hardi yang hanya menang di 1 kecamatan tapi mampu menempati urutan kedua di tingkat kabupaten. Pasangan Timbangan Ginting-Parningotan terutama menang di kecamatan yang agak dekat dengan jalur perbatasan Deliserdang-Tanah Karo, seperti Kutalimbaru, Pancurbatu, dan Sibolangit. Bahkan di pusat kabupaten sendiri, yaitu di kecamatan Lubukpakam, pasangan ini mampu meraih suara terbanyak. Sedangkan Pasangan AZAN menang 14 kecamatan.
Agak disayangkan memang jika pasangan Timbangan-Parningotan (Tipar) harus tersingkir di putaran pertama. Seandainya pasangan ini lolos ke putaran II dan berhadapan dengan Ashari-Zainuddin, maka saya rasa akan ada pertarungan politik yang menarik. Kita akan melihat kubu mana yang lebih solid dalam merapatkan barisan untuk memenangkan pemilukada, apakah kubu Islamis yang disokong oleh birokrasi dalam sosok pasangan AZAN, ataukah kubu Kristen Batak-Karo yang terwantahkan dalam sosok pasangan Tipar. Jika sekiranya Timbangan-Parningotan bisa memenangi pemilukada Deliserdang, tentu sangat menarik karena keduanya adalah beretnis Karo dan Batak Toba, yang secara sejarah bukan penduduk asli wilayah Deli (Melayu) dan bukan pula beragama Islam, agama mayoritas di Deliserdang. Seandainya Timbangan –Parningotan yang memimpin Deliserdang, barangkali akan menjadi bukti paripurna betapa toleransi dan multikulturalisme yang berada di wilayah Provinsi Sumut begitu terjaga dan patut dicontoh daerah lain. Selama ini figur Kristen-Batak-China memang belum berkesempatan menduduki jabatan kepala daerah di wilayah Pantai Timur Sumut, kendati dalam pemilukada jumlah suara mereka cukup besar. Bisa kita kenanglah bagaimana Sofyan Tan di Pemilukada Medan dan Efendi Simbolon di Pilgubsu mampu menduduki urutan kedua dalam pemilukada di daerah tersebut.
Yang terjadi di putaran kedua pemilukada Deliserdang nanti (jika tak ada perubahan berdasarkan putusan PHPU MK) adalah pertarungan antara keluarga bupati petahana yang disokong birokrasi pemkab, versus kubu yang mencoba merepresentasikan diri sebagai perwakilan etnis Melayu dan etnis Jawa, dua etnis yang tergolong mayoritas di Deliserdang. Ashari Tambunan-Zainuddin MARS versus Tengku Ameck-Hardi, kita lihat saja siapa yang akan menang di putaran kedua nanti 27 Desember 2013.
====
(data perolehan suara dan komentar ketua KPUD diambil dari pemberitaan harian Tribun Medan, 30/10)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H