Mohon tunggu...
Gunawan Wibisono
Gunawan Wibisono Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ideologi Itu Sengit

6 Februari 2012   03:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:00 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jauh sebelum era modern muncul pada peradaban manusia, sistem atau ideologi liberalisme telah ada dan digunakan oleh manusia. Orang-orang yang mempunyai modal (capital) bergerak bebas dalam menciptakan produksi mandiri. Banyak dari mereka atau orang-orang bermodal tidak hanya menciptakan produksi, tetapi juga menyerap tenaga kerja dalam mencapai tujuan industrinya. Lambat laun sejalan dengan berkembangnya industri para pemilik modal, menyebabkan terjadinya produksi yang berlebihan atau over-production. Dengan adanya over-production, para pekerja (buruh) terpaksa bekerja tak kenal waktu siang sampai malam sehingga mencapai tingkat kejenuhan. Tingkat kejenuhan inlah yang disebut oleh pemikir sosial, Karl Marx sebagai alienasi. Perbedaan ini yang menghasilkan segmentasi kelas-kelas sosial tertentu dimana borjouis sebagai pemilik modal dan proletariat sebagai kelas pekerja. Melihat fenomena ini, Marx berpikir bahwa suatu saat kelas pekerja akan mencapai otoritasnya pada sebuah revolusi besar yang mengantar rakyat pekerja pada gerbang demokrasi proletar menuju kesejahteraan bersama. Pemikiran inilah yang disebut dengan Marxisme.

Memasuki abad ke-20 dengan semakin majunya teknologi, maka semakin tak terbatasnya komunikasi di berbagai belahan dunia. Bukan hanya sebagai media komunikasi, tetapi juga mencakup media sosial, politik, ekonomi, bahkan sampai hiburan umat manusia. Hal inilah yang menjadi titik tolak rezim neoliberalisme dalam menunjukkan eksistensinya. Runtuhnya Uni Soviet dan sosialisme Cina yang mengarah pada kapitalis seolah membuktikan bahwa semakin memudarnya ideologi Marxisme. Kaum neoliberal mengaitkan kekuatan-kekuatan pasar yang bergerak bebas dan pertahanan institusi-institusi tradisional, terutama keluarga dan Negara (Anthony Giddens, 1999). Mereka beranggapan bahwa individu punya kuasa atas kebebasan sama halnya dengan Negara. Dengan adanya teknologi, neoliberalisme merasuki berbagai segmen kehidupan khususnya pada aspek ekonomi. Negara bahkan individu mampu menciptakan pasar yang global atas dasar kebebasan. Kebebasan inilah yang menurut Anthony Giddens dalam buku The Third Way mampu menciptakan ketimpangan ekonomi.

Sebuah masyarakat dimana pasar bergerak dengan bebas akan menciptakan ketimpangan ekonomi yang lebih luas (Anthony Giddens, 1999).

Masuknya neoliberal kedalam negara-negara dunia ketiga menjadikan ketimpangan yang nyata dalam masyarakat. Perbedaan antara si miskin dan si kaya bukan lagi fenomena langka, tetapi menjadi sangat akrab di telinga dan mata kita. Dalam konteks bangsa Indonesia sendiri munculnya globalisasi yang diikiuti dengan kemunculan neoliberal senantiasa dipengaruhi dan dipaksa menelan pemahaman yang seakan-akan paling benar, bahwa keikutsertaan dalam globalisasi ekonomi adalah suatu keharusan mutlak yang dapat membawa bangsa ini meraih cita-cita kesejahteraan (Ign. Gatut Saksono, 2009).

Media menjadi alat vital kondisi sosial politik dalam suatu Negara. Sehingga menjadi bahaya ketika hegemoni media telah dipegang oleh pemilik kekuasaan atau birokrasi seperti partai politik. Konglemerasi media seperti ini mampu mengarahkan pemberitaan sesuai keinginan pemegang kuasa. Dunia hiburan pun seolah sangat lentur untuk disentuh baik itu yang positif maupun negative. Contohnya sebagai hiburan global, pendistribusian produksi film porno hanya dengan hitungan detik sudah menyebar keseluruh penjuru dunia. Dampak dari film porno jelas pada Negara yang masih memegang teguh nilai agama dan budaya. Moralitas telah diperkosa oleh rezim neoliberalisme. Produk-produk kecantikan juga telah memusnahkan paru-paru dunia dalam sistem ekologi seperti penggundulan hutan dan pembunuhan binatang. Maka hidup di abad ke-20 seolah hidup yang penuh dengan kepalsuan, kesenangan yang semu, bahkan tak ada ketenteraman. Seperti Trotsky yang menyatakan: Siapa saja yang mau hidup tenteram, jangan hidup di abad ke-20 (Goenawan Mohamad, 2002).

Dengan segala kecacatan sistem neoliberal yang berdampak pada ketimpangan, kemudian menghasilkan ideologi yang merupakan penerus dari Marxisme, yakni Neo-Marxisme. Jika Marxisme adalah ideologi yang menentang segmentasi kelas kapitalis-proletar, maka Neo-Marxis merupakan ideologi yang menitikberatkan pada ketimpangan ekonomi global, modal asing, kebebasan individu dan ketergantungan negara dunia ketika pada negara-negara maju. Neo-Marxis adalah sebuah paham yang mengacu pada kebangkitan kritis teori Marxis pada pasca perang dunia II dan munculnya krisis global. Aktor dalam Neo-Marxis adalah Negara, kaum borjouis dan kaum proletar. Negara sebagai suatu sistem kebijakan dan borjouis-proletar sebagai perasa dampak dari kesenjangan global. Neo-Marxis merupakan sebutan sebuah upaya, ide atau gagasan yang menghasilkan sebuah gerakan sosial baru.

Efek kontaminasi dari industri neoliberal pada sekitar tahun 1980-an, bumi telah menyampaikan sebuah pesan kepada umat manusia. Khususnya di Amerika terjadi kekeringan hebat dan lama yang melanda berbagai daerah. Semua ini jelas menunjukkan terjadinya pemanasan global sebagai akibat banyaknya gas karbon yang memenuhi atmosfer bumi dengan membuat efek rumah kaca dengan iklim memanas. Pada tahun 1988 kampanye pemilihan presiden George Bush lebih banyak bicara mengenai lingkungan dibanding lawan politiknya Michael Dukakis (Matheos Nalle, 1996). Ini merupakan sebuah gerkan sosial baru yang dilakukan oleh Negara dalam bidang politik. Dalam buku terjemahan Revolusi Hijau karya Matheos Nalle, Bush dipandang berjasa karna berhasil mengesahkan amandemen Clean Air Act (Undang-Undang udara bersih) meskipun tanpa persetujuan kongres. Selain itu juga mengembangkan Arctic National Wildlife Refuge (Perlindungan Binatang Liar di Taman Natur Arktik) dari pengeboran minyak lepas pantai. Kebijakan George Bush mengenai lingkungan antara lain Environmental Protection Act, Clean Water Act, dan Endanger Spesis Act. Itu semua merupakan bukti gerakan sosial baru di Amerika pada tahun 1980-an.

Gerakan sosial baru tidak hanya terjadi pada sebuah Negara, namun juga pada gerakan anak muda. Gerakan yang dipicu oleh kemrosotan moral para tokoh politik yang menyebabkan pengangguran kriminalitas tinggi. Suatu gerakan sekaligus ekspresi anak muda dalam bermusik yang disebut dengan punk. Punk merupakan subkultur yang lahir di London, Inggris yang awalnya selalu dikacaukan oleh kelompok skinhead. Sebagai bagian dari subkultur, menghimpun nilai-nilai tersendiri dalam komunitas atau scene masing-masing, seraya menjauhi orang asing yang dianggap berseberangan paham (Ojel, 2008). Komposisi musik punk sendiri mengandung unsur isu sosial, kritik politik, global citizen, penindasan kapitalis terhadap dunia ketiga yang dibalut dengan beat yang cepat dan mengehentak. Salah satu band punk legendariss Amerika yang bernama Bad Religion sering mengkritik pemerintahan Bush, masyarakat global, ketimpangan, bahkan analisis terhadap nasib anak-anak pada abad ke-21. Greg Graffin selaku vokalis di band ini yang juga seorang dosen filsafat di University of California ini juga pernah membuat album bersama Fat Mike yang berjudul “Rock Against Bush”. Sebuah gerakan mosi tidak percaya terhadap pemerintah dari golongan musisi punk Amerika. Ini semua adalah bukti kegelisahan dari rezim neoliberal yang menghasilkan gerakan-gerakan sosial baru.

Daftar Pustaka :

Giddens, Anthony. 1999: The Third Way, Gramedia Pustaka Utama

Ign, Saksono Gatut. 2009: Neoliberalisme vs Sosialisme, Forkoma PMKRI Yogyakarta

Mohamad, Goenawan. 2001: Catatan Pinggir 5, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta

Nalle, Matheos. 1996: Revolusi Hijau: Sebuah Tinjauan Historis-Kritis Gerakan Lingkungan Hidup di Amerika, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta

Ojel. 2008: Portraits of Bad Religion, Hitheroad Publishing, Bandung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun