`Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Â
Pengkafiran antara satu kelompok dengan kelompoklainnya di Aceh sudah berawal pada periode Nuruddin Ar-Raniry pada tahun 1637-1644 di era Sultan Iskandar Tsani, dan terus menggelinding pada awal pemerintahan Sultanah Safiyatuddin Syah Tajul Alam. Perbedaan paham tersebut puncaknya pada pembakaran kitab-kitab ajaran Hamzah Fansuri sekitar tahun 1639 dan berlanjut diskusi ilmiah antara Syekh Saifurrijal dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry di Masjid Raya Baiturrahaman.
Alhasil, Nuruddin Ar-Raniry tiba-tiba kembali ke tanah airnya di Ranir, Gujarat, sekitar tahun 1644 Masehi. Untuk menggantikan posisi jabatan penting yang ditinggalkan Nuruddin Ar-Raniry sebagai Qadhi Malikul Adil dan Syaikhul Islam, maka diangkat Syekh Saifurrijal. Walaupun data ini masih lemah. Ternyata, persoalan konflik keagamaan belum mereda, hingga periode kepulangan Abdurrauf Syiah Kuala pada tahun 1661 M dari Haramain, setelah 19 tahun menuntut ilmu di sana.
Baru satu tahun berada di Aceh, ia telah dikenal banyak orang dan Kesultanan atas kedalaman ilmunya dan kebijaksanaannya. Persoalan-persoalan perbedaan paham, konflik keagamaan, hingga masalah takfir, terutama paham wujudiyah muncul deras dari masyarakat, hingga memaksakan dirinya untuk mengirim sepucuk surat kepada gurunya, Syekh Ibrahim ibn Hasan al-Kurani al-Syahrazuri al-Syahrani al-Kurdi al-Madani al-Syaf i’i pada tahun 1616-1690 atau lebih dikenal Ibrahim al-Kurani, di Madinah. Ibrahim al-Kurani pernah menjawab dan menulis beberapa persoalan yang terjadi di Aceh secara khusus, dan Nusantara secara keseluruhan. Salah satunya diberi judul Ithaf al-Dhaki bi Syarh al-Tuhfah al-Mursalah ila al-Nabi saw.
Â
Â
Banda Aceh, 30 September 2015
RAHMATSYAH
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H