`
POLITIK JUGA IBADAH
Sebuah politik kaum muslim Indonesia juga ibadah, dan lebih khusus lagi di Aceh dalam lintasan sejarah mengalami frekwensi beragam dan berfariasi mengikut zaman dan masa. Di mana zaman Rasulullah saw dan Khulafa al-rasyidin, perpolitikan di Madinah dan di sebuah wilayah taklukannya mengacu kepada amalan Nabi dan rumusan serta eksistensi Shahifah Madinah. Di mana zaman Bani Umayyah yang didirikan oleh Mu’awiyah bin Abu Sofyan dan zaman Bani Abbasiyah yang menganut sistem khilafah turun temurun, kepemimpinan khilafah dipimpin oleh seorang khalifah yang bersifat monarkhi.
Di Negara Indonesia baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, umat Islam sangat serius mempertahankan dan memperjuangakan Islam sebagai ideologi dalam kehidupan dan perjuangan, sehingga nuansa Islamic politik sangat mencuat ke permukan bangsa. Partai Islam terbesar pada tahun 1950-an dalam perjuangannya yang didukung mayoritas muslim Indonesia mengusung konsep Negara Islam dan berpolitik merupakan bagian dari ibadah dalam Islam. Di Aceh, Persatuan Ulama Seluruh Aceh yang awalnya hadir untuk memajukan sistem pendidikan di Aceh namun dalam perjalanannya berhaluan politis dan mengarah kepada partai Masyumi.
Persatuan Ulama Seluruh Aceh pun mengembangkan konsep politik Islam untuk mengembangkan ideologi dan syariat Islam di serambi mekkah Aceh, dan para tokoh Persatuan Ulama Seluruh Aceh pun mengusung konsep berpolitik merupakan bagian dari ibadah juga.Secara garis besar ibadah itu adalah segala sesuatu dari amalan ikhlas seseorang muslim yang mendatangkan manfaat dan kebaikan baik kepada dirinya maupun kepada makhluk lainnya yang selaras dengan pedoman hidup utama yakni Alquran dan hadisnya.
Dengan demikian bagaimana hebat dan banyaknya amalan seorang kafir yang sangat banyak membantu umat manusia di dunia ini tidaklah termasuk bagian dari ibadah karena dia bukan seorang yang beriman kepada Allah dan membantu manusia bukan atas landasan iman melainkan atas landasan kemanusiaan yang lepas dari tuntunan Allah Swt dan Rasulullah saw.Demikian juga dengan amalan seseorang muslim yang beramal atas dasar riya, bermegah-megah dan tidak ikhlas tidaklah termasuk kedalam tema sebuah ibadah yang sebenarnya.
Ruang lingkup sebuah ibadah yang dipatron dalam bingkai iman tersebut merambah ke berbagai lini kehidupan seseorang muslim baik yang berhubungan langsung dengan Allah Swt sebagai Khaliq maupun yang berhubungan dengan sesama hambanya. Oleh karena itu bagi seorang muslim apapun yang dilakukakan yang sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya yang mendatangkan kebaikan menjadi bagian dari ibadah, termasuk berpolitik seorang muslim yang diawali dengan niat ikhlas menegakkan dan memajukan Islam di muka bumi, sehingga dalam semua aktivitas politiknya tidak ada sedikitpun yang bertentangan dengan Islam maka ia termasuk ke dalam sebuah tema ibadah.
Politik juga selalu dikonotasikan negatif oleh kebanyakan orang kini menjadi momok bagi seorang muslim yang ingin menjadikannya sebagai sebagian kecil dari rumusan ibadah. Politik yang cukup banyak definisinya diberikan oleh para pakar baik dari kalangan muslim mapun nonmuslim dalam amalan keseharian umat manusia di zaman kini sudah sangat negatif kesannya. Padahal sejumlah rumusan politik yang dirumuskan para pakar itu sangat baik nilainya kecuali rumusan yang diberikan Machiavelli dan yang sepikiran dengannya. Kalau kita sederhanakan pengertian politik dari sejumlah definisi yang ada adalah; suatu seni yang dilakukan oleh seseorang atau segolongan orang untuk memperoleh kekuasan dengan upaya-upaya sangat maksimal yang didukung oleh berbagai atribut yang diperlukan.
Dari definisi yang sangat sederhana tersebut dapat disimpulkan poltik itu tidak negatif, hanya para pelaku politik itu sendiri yang mengarahkan politik itu ke arah negatif lewat ulah dan prilaku menyimpang dari para politikus tersebut. Dengan demikian bagi seorang muslim yang lupa kepada Allah Swt yang berpolitik lewat jalur Islam dengan tujuan untuk memajukan dan mengembangkan Islam setra syari’at Islam maka baginya berpolitik itu menjadi bahagian daripada sebuah ibadah yang mendapat pahala dari Allah Swt. Sebaliknya, politik seorang muslim yang tidak berpegang kepada rumus politik Islam dan dia cenderung menghalalkan segala cara dalam berpolitik, itu menjadi bahagian daripada sebuah kriminal baginya.
Oleh karena itu seorang politikus muslim itu wajib berpolitik melalui jalur yang serba Islam, melalui partai yang berazaskan Islam dan dipimpin oleh muslim taat. Ia harus berprilaku Islam selama berpolitik yang jauh dari tipu-menipu, teror-meneror, ancam-mengancam, bunuh-membunuh, dan ketika punya kuasa wajib berlaku adil terhadap rakyat.Kesimpulan kita adalah berpolitik itu bagian darisebuah ibadah, dan ibadah itu adalah kebaikan yang dilakukan seorang muslim yang bermanfaat baik bagi dirinya maupun orang lain dan dapat membantu semua pihak, maka esensi politik dalam Islam itu menjadi prilaku murni dan azasi dari seorang muslim dengan menggunakan rambu-rambu Islam untuk kemajuan Islam demi tagaknya kebenaran dan lenyapnya sebuah kejahatan di permukaan bumi milik Allah ini.
Banda Aceh, 19 April 2015