Bagian I dari tulisan ini membahas mengenai sejarah fundamentalisme agama di Indonesia. Bagian II akan mencoba untuk membahas kejadian yang lebih kekinian serta mengapa bangsa ini berada pada kondisi "lampu kuning" untuk darurat fundamentalisme agama.
Seperti yang sudah kami paparkan di bagian I, bahwa sebenarnya fundamentalis agama di Indonesia bukanlah barang baru. salah satu provinsi kita, Â Aceh dengan penerapan hukum syariahnya, bisa menjadi contoh terkini, walaupun begitu, hal tersebut tidak perlu dipusingkan. Karena sejujurnya, apabila melihat pelaksanaan di lapangan, dibandingkan dengan yang terjadi di Negara-negara yang menganut paham wahabi, pelaksanaan hukum itu lebih sangat ringan. Kami memandangnya hanya sebagai kosmetik, dan dengan semakin intensifnya interaksi dengan provinsi lainnya di Indonesia, Aceh pada suatu waktu, mungkin 10-20 tahun lagi, tidak akan jauh berbeda dengan provinsi lainnya. Walaupun begitu, kita wajib menghargai aspirasi warga Aceh dan perjanjian yang sudah kita tandatangani.
Masalah di Poso dan Maluku juga idem ditto. Pangkal masalahnya ada pada ketidaksetimbangan antara umat muslim (pendatang) dan umat Kristen protestan (penduduk asli). Oleh karena memang secara default pendatang biasanya lebih bekerja keras, maka wajarlah bila kemudian pendatang lebih sukses dan perlahan memiliki andil yang besar dalam perekonomian setempat. Kondisi ini terus berlangsung secara aman dan tentram, namun sebenarnya, yang terjadi adalah adanya api dalam sekam. Sehingga begitu control pusat melemah pada 1997 akibat pergolakan di Jakarta, kedua wilayah inipun dengan segera meletup. Akhirnya pemerintah yang dimotori putra asli Sulawesi, JK yang juga merupakan pengusaha, sukses mendamaikan kembali dengan menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur ekonomi seperti pasar dan jaminan kesetaraan akses ekonomi.
Sementara aksi-aksi terorisme yang banyak terjadi pada tahun 1999 sampai 2009, walaupun dilakukan secara terorganisir. Masih berada pada tahap yang menurut hemat kami, manageable, dalam artian, tidak serta merta menjadikan Indonesia sebagai failed state dan bahkan tidak bisa membuat masyarakat merasa terteror. Sehingga usaha para teroris ini, aman untuk dikatakan, telah gagal.
Lantas, bila semua indikator menyatakan bahwa Indonesia aman dari masalah fundamentalisme, lalu apa masalahnya ?
Kesenjangan ekonomi. Untuk pertama kalinya dalam sejarah republik Indonesia, koefisien gini menembus 0,41 dengan trend meningkat. Artinya apa? Bahwa jarak antara kaum miskin dengan kaum berada semakin jauh. Adalah sebuah fakta bahwa fundamentalisme agama selalu berkaitan dengan ketimpangan social. Kemunculan radikalisme seperti yang banyak terjadi di kawasan timur tengah juga akibat adanya jarak social yang terlalu jauh. Sementara Negara-negara eropa atau bahkan kawasan miskin di Afrika, hampir tidak pernah ada masalah fundamentalisme. Boko Haram di Nigeria merupakan contoh terjelas. Pertumbuhan ekonomi diatas 6,2 %, dan diproyeksikan akan menjadi Negara G-20 pada tahun 2020. Tapi disisi lain, kemajuan ekonomi yang cepat, apabila tidak terjadi pemerataan, hanya akan menyebabkan ketimpangan, sehingga memunculkan aliran alternative.
Contoh lainnya adalah Xinjiang, China. Selama puluhan tahun tidak ada masalah, namun karena kesenjangan yang parah antara provinsi pesisir yang sudah mapan dan konflik dengan etnis Han yang semakin menginfiltrasi sendi-sendi perekonomian local. Akhirnya etnis Uyghur, yang dominan islam, mulai melakukan agitasi dan perlawanan.
Lalu, bagaimana dengan di Indonesia ? penulis harus dengan tegas mengatakan bahwa kita memang memiliki sebuah organisasi massa yang terang-terangan ingin merobah bentuk Negara kita menjadi Negara islam, terutama adalah HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Sebenarnya tidaklah aneh apabila ada LSM seperti ini bermunculan. Yang patut menjadi perhatian adalah komposisinya. Bila dibandingkan dengan gerakan lainnya yang pernah bermunculan di Indonesia, HTI, bisa dikatakan adalah yang paling sanggup untuk merubah bentuk Negara. Bukan masalah quantitas, melainkan karena HTI aktif merekrut kalangan mahasiswa, dan di beberapa universitas negeri, HTI sudah menjelma menjadi blok kekuatan politik yang sanggup mengimbangi blok lainnya seperti HMI, PMII, IMM bahkan GMNI. Bukan sebuah persoalan yang mudah, karena blok-blok tradisional ini sudah berakar puluhan tahun. Namun HTI dalam jangka kurang dari 1 dekade, sudah bisa mencapai apa yang membutuhkan puluhan tahun bagi organisasi lain.
Oleh karena anggota HTI juga terdiri dari kaum mahasiswa, sudah selayaknya menjadi perhatian serius. Karena mahasiswa adalah actor intelektual yang dikemudian hari akan menjadi motor pembangunan. Dan tampaknya semakin hari HTI semakin berani tampil terang-terangan. Dengan mengadakan rally akbar di berbagai tempat.
Lalu bagaimana cara menghentikan masalah fundamentalisme di Indonesia?
Yang paling penting adalah menyadari bahwa ada masalah fundamentalisme di Indonesia. Karena sejujurnya, bila kita tanya ke sekitar kita, rekan kerja, teman bahkan pegawai pemerintah, mereka akan menjawab "wah nggak ada tuh". Kita harus sadar terlebih dahulu. Kalangan atas dan menengah juga harus sadar akan bahaya laten ini, jangan terbuai dengan kehidupan yang memang secara ekonomis jauh lebih baik daripada 1-2 dekade yang lalu.