RUNTUHNYA KERAJAAN PADANGGUNI
April 6, 2013 · by · in Histories ·Edit
A. TOHAMBA ATAU LAKIDENDE
1. Sistim Pemerintahan Rebi Sangia Inato Kerajaan Kinawo
Sesuai catatan sumber sejarah sebagai mana termuat dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa kemunduran kerajaan padangguni setelah “Raja Bunduwula I” Wafat sekitar tahun 1649 M. kemudian digantikan putrinya bernama “Weli Mondi Anawai Ndo Padangguni III” sebagai “Bunduwula II”(Ratu) untuk menjalankan pemerintahan Padangguni dibantu suaminya bernama “Rebi Sangia Inato” Rebi adalah orang yang bijaksana dan ahli Hukum Adat, yang dibantu Perdana Menteri yang bernama “Kalenggo”. Kemudian kerajaan Padangguni ditenggelamkan namanya atas tekanan Hindia Belanda dan dimunculkan Kerajaan baru (Kerajaan Bonea) yang diberinama “Kerajaan Kinawo/Konawe”. Dibawah pengaruh Belanda yang selanjutnya mulai merasuki sistem Pemerintahaan “Kerajaan Padangguni” dan mengganti namanya menjadi “Kerajaan Kinawo”. dibentuk Belanda tanggal 19 Maret 1948.
Walaupun tidak disadari bahwa sistem politik yang dianut belanda adalah sistem politik adu-domba (devide et impera) dengan cara memecah belah kerajaan-kerajaan sekitar dan berusaha merangkul raja-raja di sekitarnya antara lain kesultanan Buton. Padahal hanya merupakan taktik belaka guna memperkuat kekuasaan belanda diwilayahnya “Kerajaan Kinawo” hubungan merangkul ini menggunakan taktik Ekonomi Pasar. Maka terjadilah tukar menukar hasil pertanian seperti beras dari konawe di tukar dengan kain sarung, gong, kendi dan barang-barang pecah belah.
Dalam catatan sumber informasi sejarah sebagaimana tertulis dalam kitab Bunduwula disebutkan bahwa Rebi atau Tebao/ Sangia Inato” mempunyai 7 orang isteri dan 33 orang putra dan putri. Setelah wafatnya Rebi/Tebao sekitar abad ke-17 bertepatan penjajahan belanda diwilayah Konawe (Kini Sulawesi Tenggara) semakin meningkat, dan kesepakatan ini dipergunakan ”maago” yang sebenarnya bukan putra mahkota kerajaan padangguni merebut kekuasaan dan mengankat dirinya sendiri sebagai “Raja/Mokole Kinawo” sejak itulah “Maranai “ sebagi Putra Mahkota pewaris kerajaan Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinotiso (Daerah Istimewa) Kendari tersingkirkan dan selanjutnya “Maago” mengangkat ”Kalenggo” sebagai Perdana Menteri.
Sumber informasi lain menerangkan bahwa “maago” tidak merebut Tahta Kerajaan Padangguni namun tetap memberikan kepada Putra Mahkota yang bernama “Maranai” untuk menjadi Raja/Mokole Kinawo. namun sebagian orang tua mengatakan pemberian jabatan tesebut kepada “ Putra Mahkota Maranai” hanya sebuah taktik belaka. Hal ini terlihat tidak disertai penyerahan Mustika Mata Oleo (Merah Delima) milik kerajaan Padangguni kepada Maranai. Akibatnya Maranai menolak untuk menjadi Raja/Mokole Kinawo dan selanjutnya taktik ini sangat menguntungkan Maago untuk menduduki Singgah Sana sebagai Raja/Mokole Kinawo.
Penobatan Maago menjadi Raja Kinawo Menimbulkan pemberontakan dalam negri. “surumaindo sebagai Raja Latawa” dan “Kerajaan Wawolesea” wilayah Utara meminta bantua “Raja Matano” untuk membantu berperang melawan “maago” yang bertujuan untuk melepaskan diri dari “Kerajaan Kinawo” yang berada dibawah pengaruh kekuasaan Belanda. namun Maago sebagai Raja Kinawo bersama para pejabat Kerajaan Kinawo mengadakan sidang Istimewa dan mengambil keputusan :
(a) Kesultanan Kerajaan Kinawo harus tetap dipertahankan dengan menaklukan Surumaindo Mokole Lawata
(b) Menugaskan “Kapita Ana Molepo (Tandala)” memimpin dan sejumlah 9000 personil pasukan tempur dikerahkan untuk menyerbu “Kerajaan Lawata”
Peperangan ini berlangsung 7 hari 7 malam, Kerajaan Lawata dapat ditaklukan sehingga Lawata takluk dan dipaksa mengakui kembali kepepimpinan “Maago” sebagai “ Mokole Kinawo” politik pemerintahan Maago tidak berbeda dengan ayahnya “Rebi Sangia Inato” yang selalu menjalin persahabatan dengan Raja-raja daerah tetangganya kecuali “Kerajaan Luwu” yang beberapa kali melancarkan serangan ke Kerajaan Kinawo akan tetapi selalu menemui kegagalan.
Menurut sumber sejarah “Kitab Taenango dan Kitab Bunduwula” disebutkan bahwa Mokole Maago mempunyai bbeberapa istri antara lain “ Elundoto Buri” keturunan HALUOLEO. Dan yang kedua “Wetaninda” dari hasil perkawinan dengan “Wetaninda” lahirlah seorang putra yang bernama “LAKIDENDE” setelah “Maago” wafat ia diberi gelar “ Sangia Mbi Nauti” atau dewa dipayungi Maago wafat sekitar abad ke-18 M. maka LAKIDENDE mengangkat dirinya sebagai “Mokole Kinawo” yang seharusnya penggantinya adalah dari keturunan “Padangguni Inea Sinumo Wuta Mbinotiso” yakni keturunai MARANAI bernama “TOHAMBA”
Tetapi sebelum Mokole Maago mengangkat “Sule Mandara Kalenggo” telah mengangkat pula. Kemudian digantikan anaknya “Lata Lambe” kesempatan ini di manfaatkan Lata Lambe mengundang para Dewan Kabinet Kerajaan Kinawo untuk memusyawarahkan penggantian “Mokole Kinawo” dalam keputusan musyawarah ditetapkan bahwa Mahkota Kerajaan Kinawo harus diserahkan kepada Putra Mahkota Kerajaan Padangguni yaitu “TOHAMBA”.
Namun TOHAMBA sebagai Putra Mahkota yang anti bekerja sama dengan kaum penjajah Belanda menolak dilantik sebagai Raja Kinawo/Mokole Kinawo. Selanjutnya mahkota Kerajaan Kinawo dibawa ke “Rano Meeto” dan diserahkan kepada “Tebau”. Namun Tebau menolak karna merasa dirinya bukan Putra Mahkota sebagai ahli waris Kerajaan Padangguni yang berhak. Lagi pula Tebau tidak mau berkerja sama dengan kaum Belanda akhirnya Mahkota Kerajaan Kinawo dalam musyawarah ditetapkan dalam musyawarah diserahkan kepada LAKI DENDE PutraMaago.
2. Siwole Mbatohu bercorak Belanda
Bahwa untuk meyakinkan masyarakat Kerajaan Padangguni yang beragama Hindu-Buddha, kaum penjajah Belanda berkerja sama dengan para pejabat Kerajaan Kinawo merubah Siwole Mbatohu yakni ajaran Hindu-Buddha (Dayani Bodisatwa/sekarang ini bernama Podmanani Awalokiteswara atau Awalokita) menjadi ajaran pejabat-pejabat Kerajaan Kinawo yang harus dihormati, disembah dan diagungkan sebagai dewa seperti :
(a) Tambo Loso Ano Oleo, Konuwa, Nggonaia, Sapati Rano Meeto (SIRUMBA)
(b) Tambo Tepuli Ano Oleo, Sabandara Wowala Torna Ore-ore Mebubu (BUBURANDA)
(c) Barata Ihana, Ponggawa Iuna (PALUWU)
(d) Barata Imoeri, Inowa Asaki Lambuia (IMBANAHI)
(1) Wilayah Kerajaan Kinawo dan Struktur Organisasinya.
Wilayah Kerajaan Kinawo sesuai informasi Sejarah terdiri dari
a. Wonua (Kerajaan yang dikepalai oleh seorang Raja atau Mokole
b. Tobu (Daerah di kepalai oleh Puutobu)
c. Napo (Desa) yang dikeplai oleh seorang Toonornotuo
(2) Dewan Kerajaan :
Bahwa Kerajaan Kinawo Dalam Menyusun Struktur Organisasinya Pemerintahannya dibentuk Dewan Kerajaan yang terdiri dari :
a. Raja/Mokole selaku Kepala Negara
b. Sulemandra selaku Perdana Menteri
c. Kotu Bitara selaku Mahkama Agung
d. Puutobu selaku urusan Kerajaan
e. Tutuwi Motaha selaku Panglima Kerajaan
f. Inea Sinumo selaku Raja Muda Putra Mahkota
(3) Pitu Dula Batu Kerajaan Kinawo :
Bahwa Keajaan Kinawo dalam menjalankan Administrasi Pemerintahan Kerajaan Kinawo mmembentuk Pitu Dula Batu (Tujuh Pejabat Penting) Kerajaan Kinawo antara lain :
(a) Sapati berkedudukan di Ranomeeto
(b) Sabandara berkedudukan di Wowa Latorna
(c) Ponggawa berkedudukan di Tongauna
(d) Inowa berkedudukan di Tongauna
(e) Tusa Wuta berkedudukan di Kasupute
(f) Kapita Anamolepo Panglima Angkatan Darat berkedudukan di Uepai
(g) Kapita Bondoala Panglima Angkatan laut berkedudukan di Puusambalu/Sambara