Hajatan demokrasi dalam pemilihan Presiden sedikit tercoreng oleh kasus adanya keterliban Babinsa (Bantara Pembina Desa). Babinsa merupakan organ TNI paling depan yang sehari-hari bersentuhan langsung dengan rakyat. Mereka dibekali skil khusus bersosislisasi dengan warga setempat. Secara organik, seorang Babinsa berada di bawah kendali Koramil (Komando Rayon Militer). Koramil sendiri merupakan struktur teritorial TNI untuk tingkat Kecamatan.
Mustahil Babinsa bergerak, apalagi sebuah gerakan resmi tanpa seijin atau sepengatahuan Danramil (Komandan Rayon Militer). Demikian seterusnya ke atas, Koramil bertindak atas perintah Kodim (Komando Distrik Militer), struktur militer setingkat Daerah Tingkat II. Selanjutnya Korem (Komando Resort Militer) Â dan Kodam (Komando Daerah Militer) Â untuk tingkat provinsi. Karena Babinsa ada di matra darat, maka pucuk strukturnya ada di Angkatan Darat atau bahkan Panglima TNI. Sistem komando yang ketat di TNI, menjadi mustahil seorang Babinsa bergerak tanpa perintah.
Kalau mau sedikit cermat pada sejumlah peristiwa, akan mudah terbaca penggunaan Babinsa untuk kepentingan pemenangan capres tertentu ini permainan siapa? Mari kita rangkai peristiwanya.
Pada tanggal 2 Juni lalu, Presiden SBY menekankan agar perwira tinggi TNI bersikap netral pada pemilihan Presiden mendatang. Hal tersebut disampaikan SBY dihadapan seluruh perwira  tinggi TNI di Jakarta. Ini menjadi menarik karena tekanan Presiden pada perwira tinggi TNI, bukan pada institusi TNI.
SBY juga mantan perwira tinggi TNI yang pernah merasakan pemilu. Tentu saja SBY pernah mengalami godaan serupa saat dirinya menjadi perwira tinggi TNI. Selain itu, tentu ada informasi yang masuk ke SBY tentang dugaan adanya perwira tinggi TNI yang ikut bermain memenangkan capres tertentu.
Sebelumnya santer diberitakan Panglima TNI Moeldoko menemui Ketua Umum PDIP Megawati. Saat itu Moeldoko beralasan akan pembahas pengamanan calon Presiden, padahal capresnya saja belum ada. Lagi pula, apa relevansinya membahas pengamanan capres dengan Megawati? Oh, mungkin karena Megawati Ketua Umum Partai. Lantas, mengapa Abu Rizal Bakrie atau Wiranto yang sudah jelas Ketua Umum partai yang juga calon Presiden yang diusung partainya tidak ditemui?
Lantas beredar kabar pertemuan tersebut guna sosialisasi Grup D Paspampres yang baru dibentuk untuk amankan keluarga mantan Presiden. Bila demikian, mengapa Habibie atau keluarga Gus Dur keduanya mantan Presiden RI juga tidak ditemui? (Baca : http://m.news.viva.co.id/news/read/485652-panglima-tni-jenderal-moeldoko-akan-temui-megawati)
Sebelumnya juga dikabarkan telah terjadi pertemuan tertutup antara Kasad Jenderal TNI Budiman. Pertemuan tersebut diatur oleh Hendropriyono secara tertutup. Dikabarkan, pertemuan antara Megawati dan Budiman membahas posisi Cawapres yang akan dampingi Jokowi. Untuk diketahui, antara Budiman dan Hendropriyono masih ada hubungan kekerabatan. (Baca : http://www.rmol.co/read/2014/05/18/155697/Inilah-Kabar-di-Balik-Peluang-Jenderal-Budiman-Jadi-Pendamping-Jokowi)
Di antara dua calon Presiden yang telah ditetapkan KPU, Prabowo memang berasal dari latar belakang militer. Latar belakang Prabowo ini yang hendak dieksploitasi untuk kepentingan mendown grade elektabilitas Prabowo yang semakin hari semakin mendapat simpati dan dukungan dari rakyat luas.
Selain unsur latar bekakang militer tersebut, Prabowo juga ditakdirkan pernah menjadi menantu mantan Presiden Soeharto. Saat berkuasa, Soeharto memang sering gunakan kekuatan jaringan struktur militer, termasuk Babinsa untuk menopang kekuasaannya.
Sepertinya Prabowo hendak digiring masuk pada suatu stigma capres reinkarnasi orde baru. Suatu cara berfikir yang sangat keliru. Sebab perjalanan bangsa besar di dunia tidak pernah menyalahkan dan hanya berhenti menuding pemerintahan masa lalunya. Bangsa besar di dunia selalu berpijak pada rekonsiliasi untuk menatap dan bersiap menuju masa depan yang lebih baik.
Dengan demikian, penggunaan Babinsa dengan mudah diasosiasikan pada Prabowo. Padahal, Prabowo hanya Jenderal bintang tiga yang pernah diberhentikan dari TNI dan sudah lama menarik diri atau tidak berhubungan dengan TNI. Jikapun Prabowo miliki akses ke TNI, tentu tidak seberapa dibanding Jenderal bintang empat senior Prabowo yang berada di kubu Jokowi. Satu diantaranya diakui cukup lihai dan mahir melakukan operasi inteljen. Mulai dari operasi Talangsari di Lampung tahun 1989, pembunuhan Theys di Papua pada tahun 2001, pembunuhan Munir tahun 2004 hingga berbagai peristiwa ledakan bom dan kerusuhan massal.
Jadi berhentilah memberi stigma negatif pada Prabowo. Sebab cukup banyak rakyat yang kritis dan tidak mudah menerima begitu saja suguhan informasi yang menyesatkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H