Kata utopia mungkin bukan sebuah kata yg mudah dicerna oleh kebanyakan orang. Tetapi mantera mengenai sebuah utopia atau negeri yg sempurna adalah sebuah hal yg mendengung di banyak kepala penduduk negeri kita. Sebuah resonansi dari perkataan pemimpin-pemimpin agama, budaya dan kemudian dipelintir untuk masuk ke bahasa politik. Dengan mazhab kekuasaan pada ujungnya.
Di negara ini utopia bersanding dengan nafas pendek yg bernama ketidaksabaran. Saat semua kalau bisa dibuat tergesa. Kalaupun bisa tanpa sebuah proses bekerja. Karena banyak pemimpin menyatakan bahwa kesejahteraan adalah sebuah berkah dari langit. Yang akan datang saat semua konstelasi keteraturan mengikuti hukum langit semata.
Banyak dari mereka lupa bahwa semua perkara melewati sebuah proses yg kita namakan bekerja. Dimana peluh dan keringat adalah teman karibnya. Dan bukan sekedar bual-bual kata semata.
Sebuah proses sedang terjadi di negeri ini. Dimana pembangunan infrastruktur tengah mencoba berlari. Tiang pancang banyak berdiri dan alat berat dikirimkan ke banyak pelosok negeri.
Tetapi layaknya sebuah negeri yg terbelah, sebagian dari penduduk masih memandang nyinyir semua proses ini. Kesinisan menggantung di ruang berpikir mereka. Komentar meragukan dan berharap akan kegagalan berlalu lalang di media sosial yg tak memiliki batas di dunia virtual. Sebuah penghakiman dengan mengatas namakan ajaran agama tak henti nya ditembakkan oleh mereka.Â
Kredo yg terbaca adalah perkataan "Jika". Jikalau pemimpinya si fulan, semua akan lebih baik. Jikalau investornya bukan dari negara "yg itu", semua akan lebih cepat.
Tentu saja sebuah proses akan menimbulkan kekurangan di banyak sisi. Itulah mengapa kita namakan "proses", sebuah langkah untuk "menjadi". Sebuah proses membutuhkan kesatuan langkah dan kesepahaman yg sama. Kadang memang kita menjadi tak sabar, tapi mungkin mencerca dengan sebuah kesinisan adalah hal yg paling tak produktif dalam hidup kita. Apalagi mengatasnamakan sebuah dogma, sebuah pengulangan akan kata2 yg didengungkan oleh sebagian pemimpin yg gagal memiliki pentas panggung politik di negeri kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H