Hari ini adalah hari terakhir sekolah anak saya yang sulung. Selama 3 tahun kami tinggal di kota ini, si sulung berkesempatan bersekolah di TK setempat selama 2,5 tahun. Kebetulan si sulung lahir di bulan Maret, sehingga ketika umurnya 4 tahun, ia kami masukkan ke TK setempat yang memang kebetulan bertepatan dengan pertengahan tahun ajaran 2008/2009 pada saat itu. Dan hari ini adalah hari terakhir tahun ajaran 2010/2011 yang menandai berakhirnya pula masa sekolah si sulung di TK setempat. Karena untuk tahun ajaran ini 2011/2012 si sulung akan masuk ke tahapan selanjutnya, yakni SD yang berarti pindah dari TK yang telah mendidiknya selama 2,5 tahun ini. Dan kebetulan sekali perpindahan ini bersamaan dengan perpindahan kota domisili kami tinggal, sehingga resmilah perpindahan ini menjadi suatu kepindahan yang secara geografis (dan psikologis) menjadi sangat signifikan. Jika ada hal-hal yang berkesan dan akan selalu saya kenang selama masa tinggal kami di kota ini, salah satunya adalah pengalaman anak sulung saya di TK tersebut. Jadwal masuk dan pulang TK adalah dari jam 8 pagi hingga jam 12 siang. Pada saat itu, ia yang masih berusia 4 tahun, masih sangat balita, dan semua hal masih sangat tergantung pada kami sebagai orang tuanya. Makan masih disuapi, mandi masih dimandikan, ganti baju masih kami yang menggantikan, pokoknya typical anak balita. Ketika masa-masa awal si sulung bersekolah, kami sebagai orang tuanya hanya diperbolehkan mendampingi selama dua hari pertama saja, itu pun harus menunggu di luar kelas, tidak boleh masuk ke dalam kelas. Bersekolah di lingkungan yang sama sekali baru, bahasa dan budaya yang berbeda, dengan teman-teman baru dan guru baru tentunya merupakan tantangan psikologis tersendiri bagi seorang anak (dan orang tuanya juga). Kebetulan ada satu teman yang sama-sama dari Indonesia yang sudah dikenal sebelumnya yang satu kelas dengannya sehingga si sulung paling tidak sudah mengenal satu teman. Terus terang dengan karakternya yang saat itu masih balita, saya dan suami agak khawatir (typical ibu-ibu lah..hehe). Hari pertama dan kedua masih berlangsung dengan baik-baik saja. Pada hari ketiga, kami tidak diperbolehkan lagi menunggui si sulung. Kami hanya boleh men-drop dia ke sekolah dan harus langsung meninggalkan si sulung, apapun yang terjadi. Benar saja, baru semenit kami drop, si sulung sudah mulai menangis berguling-guling dan minta keluar kelas, ikut pulang dengan kami. Pada saat itu, suami yang jatuh iba pada si sulung memasuki kelas kembali dan berniat untuk mengambil si sulung. Ibu guru si sulung pada saat itu, Daniela, memarahi kami dan menyuruh kami segera pergi, karena memang sudah saatnya si sulung belajar mandiri dan tidak tergantung pada orang tuanya. Daniela segera menggendong si sulung yang meronta-ronta kencang sambil menangis menjerit-jerit sembari menyuruh kami lekas-lekas pergi dari sekolah itu. Terus terang sebagai orang tua, kami tidak sampai hati meninggalkan si sulung yang tengah menangis dan kami juga khawatir ia akan trauma pergi ke sekolah. Dengan berat hati kami terpaksa meninggalkan si sulung. Jam 12 ketika kami menjemput, kami bertanya pada Daniela bagaimana si sulung hari itu. Memang ia menangis cukup lama, 20 menit, tapi kemudian ia bisa beradaptasi dan bermain dengan teman-temannya. Itu adalah pengalaman awal si sulung di sekolah TKnya. Hari demi hari dilalui, si sulung beradaptasi dengan cukup baik dengan sekolah barunya, dengan teman-teman barunya dan bahkan mulai menguasai bahasa asing setempat dengan cukup baik (bahasa yang tidak dikuasai oleh ibu dan ayahnya sama sekali). Satu hal yang paling mencolok yang berubah dari si sulung adalah, ia menjadi lebih mandiri. Jika sebelumnya selalu dibantu untuk melakukan apa-apa seperti makan, mandi, memakai baju dan sepatu, maka kini ia bisa mengerjakan semuanya sendiri karena memang di sekolahnya ia diajarkan untuk mandiri dan terbiasa melayani dirinya sendiri. Dari hal-hal kecil seperti memakai baju dan sepatu, membereskan piring dan gelas bekas makan/minum, membereskan peralatan menulis atau mainannya semua dapat dilakukannya sendiri. Menurut saya dan suami hal ini merupakan perubahan yang cukup signifikan mengingat anak kami ini terbiasa dilayani sebelumnya. Dan kami sangat bersyukur dengan perubahan yang positif ini, hal yang sangat berkesan buat saya sebagai seorang ibu, melihat anaknya menjadi mandiri. Hal lainnya yang juga saya amati adalah si sulung menjadi lebih disiplin dan menaati peraturan, misalnya ketika berjalan di taman ia tidak akan memotong jalan melalui lapangan rumput jika ada larangan menginjak rumput, menyeberang jalan di zebra cross dan hal-hal kecil lainnya. Mungkin hal ini tidak akan didapat oleh anak saya dalam sistem pendidikan Indonesia, di mana pendidikan awal untuk anak balita lebih berfokus pada kemampuan membaca dan menulis. Memang selama 2,5 tahun di TK ini anak saya baru sedikit belajar mengenal huruf dan angka, namun penanaman unsur kemandirian, disiplin, mengasah keterampilan serta kemampuan bersosialisasi sejak dini menurut saya jauh lebih penting untuk bekal hidup di masa mendatang. Di rumah, kami masih mengajarkan si sulung belajar membaca dan berhitung, pelajaran yang saya ingat sudah diajarkan ketika saya dulu duduk di bangku TK di Indonesia. Jika mengingat perubahan si sulung, sungguh saya sangat berterima kasih sebesar-besarnya pada guru si sulung yang telah mendidik si sulung selama 2,5 tahun ini sehingga ia menjadi pribadi yang mandiri, disiplin dan percaya diri. I can not thank you enough Daniela and Jutta for this 2,5 years..Danke Schön und Auf Wiedersehen Daniela und Jutta... [caption id="attachment_117510" align="aligncenter" width="300" caption="kiri belakang: Daniela, kanan belakang: Jutta, kanan depan di sofa: si sulung (dok.pribadi)"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H