Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

"Wadjda" Film Pertama Saudi Arabia Pantas Mendapat Oscar

4 Februari 2014   16:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:09 697
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_320364" align="aligncenter" width="300" caption="dok http://www.spiegel.de/fotostrecke/das-maedchen-wadjda-erster-film-aus-saudi-arabien-fotostrecke-100795.html"][/caption] "Wadjda" film besutan sutradara wanita Saudi Arabia Haifaa Al-Mansour ini juga merupakan film pertama yang dibuat sepenuhnya di Riyadh, Saudi Arabia dan memiliki potensi besar mendapatkan Oscar untuk kategori film asing.

Kisah intinya menceritakan mimpi sederhana seorang anak gadis 10 tahun bernama Wadjda, yang menginginkan sepeda, agar bisa balapan dengan tetangga seumurnya Abdullah. Padahal di Saudi Arabia perempuan dilarang bersepeda kecuali dalam kawalan laki-laki.

Namun Wadjda memiliki keinginan yang kuat untuk mendapatkan sepeda hijau impiannya itu. Ia pun menabungkan uang hasil jualan gelangnya. Namun karena harga sepeda 700 sekian Real dan tabungannya hanya 70 sekian Real, ia pun terus mencari jalan. Ketika ia mendengar hadiah pertama pemenang lomba menghafal dan membaca Al Quran di sekolahnya, sekolah khusus perempuan di Riyadh 1000 Real, ia pun mendaftarkan diri. Wadjda yang tadinya tidak terlalu tertarik dengan menghafal Al Quran kemudian dengan tekad bulat, mulai belajar dengan tekun dan dengan bantuan ibunya yang memiliki suara indah, bacaan Qurannya pun disempurnakan.  Sayangnya, setelah menang dan jadi juara 1, ketika kepala sekolahnya tahu hadiahnya untuk dibelikan sepeda, hadiahnya itu tidak diberikan ke Wadjda tapi disumbangkan ke Palestina.

Begitu kurang lebih kisahnya. Untuk tahu lebih detil tentu lebih seru bila nonton filmnya langsung mudah-mudahan bisa ditonton di Indonesia atau bisa dilihat di sumber huffingtonpost di bawah trailernya. Film ini bagi saya menjadi terasa lebih istimewa dan menarik lagi karena berasal dari sebuah negara, yang tidak memiliki bioskop sejak terbunuhnya Raja Faisal tahun 1975. Ditambah isi ceritanya mengenai perempuan dan dibuat oleh sutradara perempuan dari Saudi pula, membuat saya menandai merah kalender saya jauh-jauh hari supaya tidak terlupa.

Tidak saya sangka, ketika kemarin saya nonton di bioskop Jerman, studio yang mampu menampung kurang lebih 300 penonton itu terlihat penuh sesak. Untung saja, saya dan teman-teman datang cukup dini dan masih bisa mendapatkan tiket dan bahkan dapat memilih tempat duduk yang paling nyaman.

Film berdurasi 97 menit ini, dibuat datar tidak banyak klimaks atau anti klimaksnya, namun tidak membosankan. Bahkan di beberapa babak film ini sangat menghibur karena lucu dan ada juga yang sangat menyentuh, feminisme dari film ini pun kadang terasa sangat kental. Selain itu, film ini mampu membuka sedikit tabir kehidupan sehari-hari di Saudi Arabia tanpa melukai nilai-nilai moral dan budaya yang diusung para pemainnya.

Untuk orang-orang Eropa atau Jerman dalam hal ini, mungkin banyak babak dalam film tersebut merupakan gambaran kehidupan yang sulit dibayangkan dan mengagetkan, namun bagi saya seorang muslima Indonesia, beberapa gambaran kehidupan di film itu terkadang sepert de ja vu karena merefleksikan juga gaya hidup yang saya kenal di Indonesia.

Entah ya ... walaupun film ini menyelipkan kritik demikian sulit dan kurangnya gerak perempuan Saudi, mengetengahkan kontradiksi antara realita kehidupan, tradisi dan tuntutan fatwa agama, menampilkan konflik nilai kemanusiaan dengan target moral, tapi film ini telah dibuat dengan lembut, sopan, sederhana, tidak berteriak-teriak tapi pesannya sampai, berselera dan yang pasti membuat saya besar hati.

Banyak film-film Jerman baru yang laku keras di bioskop Jerman atau film-fim Hollywood bagi saya terasa vulgar dan terkadang terlalu kasar serta ribut. Menonton film Wadjda ini, penonton dituntun dalam kehidupan sehari-hari yang tidak terburu-buru dan membuat merenung.

Tampaknya usaha Haifaa Al-Mansour pun membawa hasil karena menurut Spiegel.de tidak lama setelah film ini dibuat, surat kabar "al-Jaum" menyebutkan otoritas keagamaan telah membolehkan perempuan untuk bersepeda. Ah ... jadi ingat ayat Al Quran bahwa manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling kenal mengenal, dan sesungguhnya yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.

Sekali lagi, mudah-mudahan film Wadjda ini bisa ditonton di Indonesia. Selamat nonton ya .. (ACJP)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun