Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Setelah America First, Siapa Second?

9 Februari 2017   18:49 Diperbarui: 9 Februari 2017   18:55 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Baru hari ke-21 sebetulnya Trump menjadi presiden, tapi bukan saja pidatonya, cuitannya tapi yang paling membuat heboh beberapa hari terakhir ini adalah 'travel ban' dekritnya, melarang turis muslim dari 7 negara berpenduduk mayoritas muslim (Irak, Iran, Syria, Yaman, Sudan, Somalia, Libyia) masuk ke wilayan USA dalam 90 hari ke depan dan menyetop para pencari suaka dalam 120 hari ke depan (untuk pengungsi Syria malah seterusnya).

Larangan, yang ditandatangani tanggal 27 Januari 2017 ini tidak hanya membuat suasana kacau di airport, karena dekrit ini berlaku langsung bahkan untuk turis dari 7 negara ini dengan visa USA resmi valid, yang saat dekrit ditandatangai sudah dalam pesawat menuju wilayah USA. 

Bisa dibayangkan keheranan dan kengerian para penumpang dengan Visa resmi masuk USA dari ke-7 negara saat mendarat tapi tidak bisa keluar dari imigrasi ini kan ... untunglah, travel ban ini kemudian ditunda sementara oleh pengadilan federal USA tanggal 4 Februari 2017nya. Tentu saja, penundaan dekrit Trump ini membuat Trump uring-uringan.

Pembelaan Trump bahwa larangan itu common sense atau masuk akal, bisa dimengerti bahkan oleh anak sekolahan paling bodoh sekalipun, untuk melindungi penduduk Amerika atau yang lebih kontroversial adalah tuduhan Trump bahwa pengadilan federal USA memiliki muatan politik dengan penundaan dekritnya. 

Menanggapi Trump dengan serius memang memusingkan, karena banyak yang diucapkan Trump seringkali tidak tepat, seenaknya bahkan memicu polarisasi dan emosi. Ucapannya tentang tembok perbatasan dan investasi di Mexico, telponnya dengan Perdana Mentri Australia, ucapannya tentang Putin, ledekannya ke Arnold Schwarzenegger, ketidaksukaannya pada media utama, nepotismenya membela putrinya Ivanka dll adalah hal-hal yang menunjukkan entah kenaifan atau provokasi Trump.

Fenomena Trump ini tidak hanya menjadi pembicaraan formal di tingkat pemerintahan, media atau diantara para pebisnis dunia, tapi juga menjadi tema seru saat ngobrol dan minum teh antara para ibu di banyak tempat (termasuk saya di Jerman). Jadi tidak mengherankan Trump pun menjadi parodi yang kemudian viral di youtube. Sudah lihat ??

Apalagi kalau bukan viralnya video para youtuber dari berbagai negara, yang menirukan suara Trump dengan slogannya 'America first' kemudian memparodikan negaranya masing-masing untuk memperebutkan tempat kedua.

Viralnya video di youtube ini diawali oleh youtuber dari Belanda, dalam waktu dua hari videonya diklik 18 juta kali. Lalu, apa yang terjadi.. seperti bisa diduga maka bermuncullah banyak video sejenis dari Jerman, Denmark, Swiss, Belgia, Swedia, Slovenia, Lithuania, Portugal, entah itu ingin juga menempati tempat kedua atau parodi terhadap video dari Belanda. Kekhasan video ini menggunakan gaya bicara Trump yang khas.

Saya tidak tahu harus tertawa atau khawatir, melihat dagelan politik Trump di negara adidaya dan paling mengagungkan demokrasi ini. Simpan dulu apa yang akan terjadi, sekarang yuk menghibur diri dengan viralnya video memperebutkan tempat kedua ini, saya pilih Indonesia dong setelah America first. (ACJP) 


Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun