Hampir satu tahun lalu 04 Desember 2012, saya menulis sejarah banjir dan pengendalian banjir Jakarta di Kompasiana. Nasib Jakarta terulang, seperti tahun lalu sekarang Jakarta sedang mengalami banjir di sana sini dan Kompasiana serta berita-berita online pun seperti tahun lalu diramaikan dengan tulisan-tulisan seputar banjir di Jakarta.
Sejarah banjir Jakarta yang bisa diurut sampai 134 tahun y.l. tampaknya sejak tahun 1952 hampir setiap tahun terulang dan menjadi langganan. Untuk itu, hujatan terhadap pasangan sensasional Jokowi-Ahok dengan adanya banjir setiap tahun ini, saya pikir tidak adil, karena usaha keras pemerintah sekarang baru seumur jagung dibandingkan dengan sejarah panjang banjir Jakarta.
Bagaimana pun, banjir yang hampir setiap tahun terjadi, tidak mungkin diselesaikan dalam usaha hanya satu tahun pemerintah kota Jakarta saat ini, mengingat kenyataan bahwa kondisi fisik dan wilayah Jakarta yang hampir 40% di bawah permukaan laut serta terutama lagi karena kota-kota penyangga sekitar Jakarta pemerintah kotanya tidak koorperatif dalam penanganan banjir Jakarta dalam hal penyediaan waduk di daerah pemerintahannya.
Ada tempat-tempat di Jakarta yang seringkali menjadi pelanggan banjir diantaranya daerah Bukit Duri, Kembangan, Rawa Buaya, Kali Malang. Nah ... masalah banjir ini, tidak hanya eksklusif masalah Jakarta saja. Ada pula beberapa kota di Eropa, yang telah menjadi pelanggan banjir, walaupun dengan penyebab yang berbeda dan sangat spesifik tergantung kondisi setempat.
Di Jerman, misalnya kota Passau seperti tahun 2013 kota tuanya sampai 12 meter terendam air karena kota Passau merupakan pertemuan tiga sungai, demikian juga Dresden cukup sering menjadi langganan terendam air. Ide membuat rumah-rumah amphibi pun setelah kejadian terakhir mulai merebak ramai karena tidak sedikit rumah-rumah di daerah, yang menjadi langganan terendam banjir kemudian ditinggalkan penghuninya atau dijual dengan harga yang tentu saja sangat tidak menusiawi. Namun apakah pindah rumah dan jual rumah adalah satu-satunya solusi ??
Kita lihat Belanda, seperti kita ketahui, kota-kota di Belanda bahkan banyak yang terletak di bawah permukaan laut. Lebih dari seabad, orang Belanda berkutat dengan masalah air dan dampak banjirnya, bahkan penduduk di delta sungai Rhein dan Maas atau di Laut Utara, sampai sekarang masih juga menganggap banjir atau air pasang sebagai musuh bebuyutan.
Namun, di Amsterdam atau di Rotterdam misalnya ketakutan tinggal di daerah banjir tidak lagi menjadi tema yang mengkhawatirkan walaupun pemerintah kotanya tidak akan menambah tanggul di mana daerah banjir semakin rentan dalam isu perubahan iklim saat ini. Apa sebab ??
Rumah-rumah baru di daerah rentan banjir atau air pasang di Rotterdam dibangun dengan teknologi baru di atas ponton, baik itu di atas air ataupun di darat. Bahkan bukan hanya rumah, tapi gedung dengan daya tampung sampai 1000 orang pun yang mampu berenang di atas air sudah dapat dilihat hasilnya di dekat pusat kota Rotterdam. Orang Belanda tampaknya telah siaga akan dampak perubahan iklim seperti banjir atau air pasang. Motto mereka pun tidak lagi memusuhi air tapi hidup dengan air, tampaknya membuahkan hasil dan membawa harmoni hidup yang lebih damai di sana.
[caption id="attachment_316046" align="aligncenter" width="475" caption="Gedung ngambang di Rotterdam dari http://www.spiegel.de/fotostrecke/schwimmende-haeuser-in-holland-venedig-an-der-nordsee-fotostrecke-75745.html"][/caption]
Rumah Amphibi, Rumah Pasang-Surut atau Rumah Ngambang
Bahwa di Belanda rumah kapal (woonboot atau water woning) sudah dikenal lama, tentu banyak yang sudah mendengar. Nah dengan perkembangan teknologi saat ini, rumah pasang surut atau rumah ngambang ini, dibuat lebih menarik, lebih kompleks, lebih modern dan terutama dilihat dari bentuknya tidak ada bedanya dengan rumah-rumah biasanya, yang membedakannya hanyalah posisi rumah bisa bertambah tinggi.