[caption caption="Bandung (dok pribadi)"][/caption]Ketika membaca Bandung tidak berhasil menang setelah menjadi salah satu finalis untuk kategori City Award di Barcelona pada ajang Smart City Expo, bulan November 2015 yang lalu, ada rasa kecewa juga. Walaupun awalnya secara spontan ketika membaca Bandung masuk sebagai salah satu dari enam finalis dalam Smart City Award... cukup heran sejenak, gambaran kemacetan parah yang saya alami di Jalan Pasteur, genangan banjir padahal hujan baru 5 menit turun di jalan dekat rumah ibu saya, dan lain-lain, saling berkelebatan.
Belum lama bulan Juni 2015 yang lalu. hampir seminggu saya menikmati kembali kota kelahiran, Bandung, menyusuri lagi jalan-jalan Asia Afrika, Alun-Alun, Braga, Gatot Subroto, Burangrang, Karapitan, Gedung Sate dan sekitarnya, Pasar Kosambi, Pasar Baru, Dago, Riau, dll.
[caption caption="Bandung (dok pribadi)"]
![](https://assets.kompasiana.com/items/album/2015/12/20/26-5675b17462afbd4a06a93e11.jpg?v=400&t=o?t=o&v=770)
Namun, bila keluar dari jalan-jalan utama maka fakta Bandung, tidak ada bedanya dengan 5 atau 10 tahun yang lalu. Gorong-gorong masih mampet, hujan sebentar langsung jalan tergenang, semrawutnya jalan karena kendaraan dan orang semakin memusingkan kepala. Di rumah ibu saya yang letaknya hanya radius 1 km saja dari jalan Asia Afrika, harus bolak balik cari sumber air artesis karena air PDAM tidak bisa diandalkan bila musim kemarau.
Pasar Kosambi pun, sampahnya masih menumpuk begitu saja, kali di dekat jalan Gatot Subroto walaupun plang larangan dan ancaman membuang sampah ada di sana tetap saja kalinya ditumpuki sampah. Dan kabel listrik dan telpon ... o o ... sudah seperti ular beriring, menggelantung tebal di udara Bandung.
Di mana smart-nya Bandung hingga masuk sebagai finalis?
Apa perubahan sepercik bedak gincu membuat sebuah kota menjadi smart ?? Bagaimana Bandung bisa masuk menjadi satu dari enam finalis untuk kategori City Award dalam Smart City Expo? Mana infrastruktur gemilang hasil teknologi terbaru? Ternyata Bandung menekankannya pada teknologi informasi terkini.
Seorang Ridwan Kamil tentu saja tidak mungkin dalam jabatannya sejak 2013 (jadi baru 2 tahun), mampu menyihir Bandung berubah 100%. Singapura saja butuh waktu 20 tahun untuk menjadi seperti sekarang. Lee Kuan Yew memerintah dari tahun 1959 baru tahun 1990Â ia mau mempercayakan Singapura, yang dia perjuangkan dari nol, pada Goh Chok Tong akhir tahun 1990.
Kota-kota mantan Jerman Timur juga butuh waktu tahunan sampai bisa menyamai standar kota-kota di Jerman Barat, belum lagi dana untuk pembangunan Jerman Timur itu dari 1991 sampai sekarang (25 tahun) disumbang dari potongan gaji warga Jerman, namanya Solidaritätszuschlag. Pembenahan kota itu memang butuh nafas panjang dan dana yang memadai selain dedikasi dan keberanian eksekusi para eksekutif kota.
Lahirnya konsep-konsep smart city tidak lain karena tantangan pesatnya angka urbanisasi, meningkatnya jumlah manusia di kota. Bagaimana membuat kota tetap nyaman ditinggali dan bahkan bisa lebih efisien dengan memanfaatkan teknologi terkini dan partisipasi sebanyak mungkin warga, itulah saya kira yang menjadi faktor penting juri kategori smart city di Barcelona.
Ridwan Kamil telah membentuk Bandung Command Center untuk menjadi tempat kolaborasi berbagai pihak dengan pemerintah kota Bandung. Fungsinya memusatkan data-data terkait dengan kebutuhan Bandung Smart City. Ada program-program perbaikan fasilitas internet bagi seluruh kantor dinas, perapihan kabel-kabel di kota Bandung, pembentukan Dewan Smart City sebagai penasihat pemerintah kota dalam membangun smart city, pemusatan data SKPD (satuan kerja perangkat daerah), data dari masyarakat, dan bahkan belum lama ini menjadikan standar Green Building untuk menjadi syarat mengeluarkan IMB (Izin Mendirikan Bangunan).