Mohon tunggu...
ACJP Cahayahati
ACJP Cahayahati Mohon Tunggu... Insinyur - Life traveler

tukang nonton film, betah nulis dan baca, suka sejarah, senang jalan-jalan, hobi jepret, cinta lingkungan, pegiat konservasi energi dan sayang keluarga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hujan Batu di Negeri Sendiri

13 September 2016   20:19 Diperbarui: 13 September 2016   22:00 475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gang kecil (dok pribadi)

Gang-gang kecil itu mengingatkan saya kembali kepada wajah-wajah sederhana, yang selalu membantu ibu saya dulu membersihkan rumah, memasak, ataupun memijat. Entah berapa puluh atau ratus kali, kaki kecil saya dulu menembus gang-gang setapak yang sampai sekarang masih tampak sama, kumuh tanpa saluran air buangan dan banyak lumut. Menyusurinya membuat saya harus mengonsentrasikan langkah supaya tidak terpeleset.

Memang sih ada beberapa perubahan, di satu gang yang dulunya berhimpitan rumah-rumah petak setelah kebakaran hanya tinggal tanah kosong dengan puing batu bata di sana-sini. Langkah saya terhenti di sana, terhenyak karena dulu gang ini masih tembus ke arah pasar kecil tempat ibu saya dulu belanja harian. Jalan tembus itu kini tertutup sudah, membuat saya harus berbalik arah dan mengambil gang lain. Entah, 'preman' mana berhasil mengusir penghuni rumah-rumah petak ini dan mungkin kemudian membuat para penghuni rumah petak ini menjual lahan tak seberapa itu dengan harga terpaksa pula. 

Kakak-kakak saya dulu menamai saya kecil sebagai ibu RT karena seringnya kaki-kaki kecil saya menghilang dalam gang-gang sempit di depan rumah ibu saya, memaksa kakak-kakak saya untuk sering kali harus bergerilya menyusuri gang-gang itu karena lagi-lagi saya lupa makan dan lupa waktu. Sejak dulu gang-gang kecil ini menarik perhatian saya, entah itu karena banyaknya kehidupan dalam setiap meter persegi rentetan tripleks rumah-rumah petak atau bagaimana fungsional dan efektifnya mereka menata setiap jengkal dalam rumah petak, yang hanya seluas dapur ibu saya, tapi segala ada: kompor, kasur tidur, lemari pakaian dll.. Mungkin Ikea pun akan tertarik melirik sistem penataannya.

Dari dulu mereka berbagi kamar mandi. Satu sumur dibagi oleh sepuluh atau lebih rumah petak. Sampai sekarang pun ternyata belum berubah. Di gang-gang ini, waktu seperti terhenti. Pergantian walikota, gubernur, ataupun presiden tampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap kondisi perekonomian penghuni gang-gang di depan rumah ibu saya ini. Padahal, ibu saya sudah hampir 50 tahun tinggal di jalan depan gang-gang ini. 

Dulu sering saya bertandang ke rumah Bi Tini, Mak Oyoh, atau bermain dengan anak-anak dan cucu mereka. Bagi saya dulu, mereka tampak bahagia dan menyenangkan, bagaimanapun kondisi mereka. Dan tampaknya karena seringnya saya berkeliling dan bermain di gang-gang itu, mereka pun menerima saya sebagai bagian dari mereka. Teman bermain saya ini ada yang sekarang menjadi berjualan di pasar, tukang parkir di bank, tukang parkir dan pegawai di rumah-rumah makan di jalan besar terdekat atau menjual gorengan. Wajah-wajah mereka walaupun sudah jauh berumur, tapi dapat saya kenali lagi demikian pula, mereka masih mengenali dan bahkan menegur saya dengan nama. 

Menurut para pembuat definisi, mereka ini termasuk kategori miskin, walaupun mereka terlupakan tapi mereka tidak berhenti hanya dalam kategori, bukan... mereka harus berjuang menembus waktu dan ruwetnya kemiskinan. Padahal, di jalan besar yang hanya berjarak 300 meter - 2 km dari rumah mereka, tumbuh berjamuran cafe-cafe mewah dan apartemen. Bagi mereka, berhasil keluar dari lingkaran setan marjinalitas hampir sebuah keniscayaan dan membutuhkan sebuah keajaiban, maka berdamai dengan kondisi yang ada hanyalah satu-satunya jalan keluar menuju bahagia. Butuh anomali, karena menggantungkan harapan pada pendidikan pun merupakan usaha tertatih dan terkadang hanyalah napas panjang yang berakhir tidak jauh dari nasib ayah dan ibu mereka.

Bila ada yang mengatakan lebih baik hujan batu di negeri sendiri, coba bicaralah tentang fakta kehidupan yang ada ini dengan mereka, teman-teman kecil saya di gang itu. Mereka paling tahu apa arti dari kalimat itu. Tapi bila saja mereka ini diberi pilihan yang ada di belahan bumi lain, di mana air keran bahkan tidak perlu direbus dulu sebelum diminum, bau sampah tidak tercium walaupun mereka tinggal tidak jauh dari pasar segar, anak-anak mereka tidak perlu membeli seragam atau membayar uang sekolah, menuju sekolah pun terkadang cukup dengan jalan kaki, ke dokter ada jaminan asuransi kesehatan yang preminya terjangkau sesuai kemampuan. Harga buah apel hanya 9000 rupiah saja sekilo atau harga kebutuhan lain yang terjangkau dengan gaji UMR. Kemiskinan bukan parasit turun-temurun karena anak-anak mereka memiliki kesempatan yang sama dengan anak-anak lain, bila ada kemauan untuk keluar dari kemiskinan. Masihkah mereka akan setuju bahwa hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang?

Tidak di Bandung, tidak pula di Jogja atau Magelang, kaum marjinal demikian kasat mata. Beberapa minggu lalu saat hari masih cukup pagi, kaki saya jejakkan di pelataran parkir Borobudur dan Prambanan. Di sana terlihat lebih banyak penjual asongannya daripada turis. Begitu pula kios-kios souvenir rasanya semakin berdesakan. Terakhir kami datang ke sini enam tahun lalu seingat saya tidak seramai ini. Dan yang saya herankan kenapa mereka menjajakan barang-barang yang nyaris sama persis. Bukankah semakin kecil saja persentasenya barang mereka laku dibeli bila saingannya demikian banyak? Tawaran para penjual topi, souvenir, makanan ini terkadang terasa memaksa, memelas dan mengiris terutama bila para tua lanjut usia yang menjajakannya. Seharusnya mereka beristirahat dan menikmati masa tuanya, bukan?

Kawasan Segitiga Emas Jakarta (dok pribadi)
Kawasan Segitiga Emas Jakarta (dok pribadi)
Bila menengok Jakarta, melihat apartemen-apartemen mewah di kawasan segitiga emasnya. Hingar-bingar instannya kehidupan, sekilas sangat menjanjikan... tapi entah untuk untuk berapa gelintir orang saja? Harga tanah, harga properti apalagi di kawasan segitiga emas ini bahkan dengan Euro standar kelas menengah terasa absurd. Demikian juga harga makanan, harga komoditi lain, sudah tidak lagi wajar bagi beberapa kantong apalagi tetangga-tetangga ibu saya yang berada di gang-gang kecil itu atau pedagang-pedagang asongan di pelataran parkir Borobudur atau Prambanan. Penjualan topi yang hanya berharga Rp30 ribu, yang mungkin hanya dibeli oleh satu atau dua turis, hanya membuat kenyang satu perut. Atau salak Pondoh dari petani di Magelang dihitung per kilogramnya Rp2.000,00 tapi bila masuk Supermarket terkenal di Jakarta harganya menjadi sepuluh kali lipatnya atau lebih, mana ada petani yang tahan tidak menjual tanahnya saja pada para pengembang karena ekonomi biaya tinggi ini hanya membuat gendut para pemalak.

Ah... beruntungnya saya hidup di kota kecil di Jerman, walaupun tidak ada hujan emas tapi harga celana panjang, harga tissue, harga daging sapi per kilogramnya, sewa mobil, harga pulsa telepon dan internet lebih murah dari di Jakarta dan Bandung. Tampaknya, jalan masih panjang dan berliku, mengubah hujan batu menjadi hujan emas. (ACJP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun