Kampung Naga di Desa Neglasari, Tasikmalaya sudah lama menarik perhatian saya. Kurang lebih sebulan y.l. saya dan suami saya bermaksud berkunjung ke Kampung Naga, yang menurut googlemaps berjarak hanya 96 km dari Bandung. Sebelum ke sana, saya mencari beberapa blog perjalanan untuk mengetahui bagaimana menuju ke sana dari Bandung. Menurut beberapa blog, ke Kampung Naga dari Bandung bisa naik kereta api ke Tasikmalaya, naik bus arah Tasikmalaya lewat Singaparna dari Terminal Cicaheum atau naik elf dari Terminal Leuwi Panjang.
Mencari Informasi ke Stasion Bandung
Malam sebelum keberangkatan kami ke Stasion Bandung untuk mencari informasi lebih pasti tentang kereta api ke Tasikmalaya. Ternyata, bila kami membeli malam itu sebelum keberangkatan, tiket ke Tasikmalaya harus kami bayar per orang 300 ribu rupiah, karena kereta yang kami gunakan ke Tasikmalaya itu adalah kereta jarak jauh ke Surabaya. Pegawai stasion menganjurkan agar kami 2 jam sebelum keberangkatan kereta, mengantri di loket, karena bila kami beli go show, tiket ke Tasikmalaya hanya 75 ribu rupiah saja. Heran dengan kebijakan harga tiket ini, kami akhirnya memutuskan naik bus saja dari Cicaheum.
Perjalanan Sabar Menuju Kampung Naga
Suasana di dalam bus sangat kekeluargaan, khas sopannya orang Sunda. Apalagi supirnya ketika tahu kami akan ke Kampung Naga mulai bercerita dengan semangat dan suka cita bahwa ia pun dulu besar di Kampung Naga dll. Sayangnya, acara ngetem juga dilakukan sepanjang perjalanan bahkan ada waktu di mana penumpang harus menunggu supir dan keneknya makan siang di satu gerobak makan, yang hanya menyediakan nasi uduk yang sudah dibungkus-bungkus. Ah ... tidak membangkitkan selera saya, namun pemilik gerobak makan ini sangat ramah dan sopan, sehingga suami saya pun tertarik untuk mencoba nasi uduk sederhananya.
Suasana akrab dan sopan gaya khas orang Sunda dalam bus ini, tidak hanya membuat saya merasa nyaman seperti tengah berada diantara keluarga juga menumpulkan sikap kritis dan keinginan protes saya karena jarak 96 km ini, bila di Jerman bisa dicapai hanya 1 atau paling parah 2 jam saja naik bus antar kota. Bayangkan saja, jam 12 kami baru sampai pintu gerbang Garut. Untungnya niat kami berpetualang dan kami memang sedang berlibur jadi tidak terbatas waktu. Saya tidak bisa bayangkan bila pengguna angkutan umum ini sedang terburu-buru. Aaahhh, entahlah saya menjadi mengerti bila setiap rumah tangga di Indonesia setidaknya harus punya motor. Dalam keadaan darurat bisa bepergian dengan cepat karena angkutan umum susah diandalkan.
Belum lagi bila kita bicara soal keamanan angkutan umum. Waaaa, saya sudah menutup mata. Jangankan sabuk pengaman buat penumpang, supirnya saja tidak pakai sabuk pengaman, nerima telpon ketika sedang nyetir, dash board yang tidak lagi utuh, pemindah gigi persneling bisa dimainkan oleh anak kecil yang duduk di depan. Alih-alih berpikir seperti orang Jerman tentang keamanan kendaraan, saya berusaha menikmati lambatnya waktu berjalan dan pemandangan sekitar. Karena menurut saya jangankan untuk jadi bus antar kota, bus dengan kondisi seperti ini di Jerman teronggok di garasi saja bisa kena denda.
Baiklah, akhirnya jam 14.00-an kami baru sampai di mulut jalan menuju Kampung Naga. Sungguh, perjalanan penguji kesabaran saya ini dari Terminal Cicaheum jam 8 pagi sampai di mulut Kampung Naga jam 14.00 untuk jarak 96 km, berakhir juga. Betul-betul perjalanan alon-alon asal kelakon, walaupun tanpa macet tapi bus tadi sukses menggelar kecepatan rata-rata hanya 16 km/jam. Untuk ukuran Jerman, kecepatan ini nyaris hanya setengah dari kecepatan mobil di jalan bahkan di zona perumahan aman yang hanya 30 km/jam. Saya angkat topi bagi kesabaran para penumpang bus ini.
Untunglah, Kampung Naga, desa wisata dan penuh tradisi ini, memang sangat pantas dikunjungi. Semua kelelahan perjalanan kami tidak lagi terasa. Selama 2 jam kami dipandu dan ditemani dengan baik oleh pemandu dari Kampung Naga. Kampung Naga membuat kami terpana dan berpikir ulang tentang hidup dan kebijaksanaan tradisi. Tentang Kampung Naga, saya kira sudah banyak dituliskan jadi saya tidak akan tulis lagi di sini.
Dengan penuh kesan dan impresi, kami pun meninggallkan Kampung Naga. Kami sempat ragu dan bertanya ke pemandu kami, baiknya kami ke Tasikmalaya atau ke Garut untuk ke Bandung. Pemandu kami menganjurkan untuk mengambil arah Garut. Kami pun menunggu kendaraan umum menuju ke Bandung. Jalanan yang cukup sepi membuat saya khawatir apakah kami bisa sampai di Bandung tidak terlalu malam, tapi untunglah setelah lebih dari seperempat jam menunggu ada Elf menuju ke Bandung, setidaknya itu yang tertulis di kaca mobil bagian depannya, karena ternyata Elf ini hanya sampai terminal di Garut.
Di dekat Terminal Garut kami diturunkan dekat sebuah Elf, yang katanya ke Terminal Leuwi Panjang Bandung. Penumpang yang jumlahnya saat itu dengan kami hanya 6 orang, termasuk satu ibu dengan putranya, yang digelandang keluar dari sebuah angkot dan dipaksa masuk Elf, yang kami tumpangi. Heran juga melihat pemandangan ini, tapi saya tidak terlalu nangkap apa yang terjadi. Ibu ini setengah enggan naik juga ke Elf, dan bertanya: "Nanti saya diturunkan nggak?", tanyanya. Tapi tidak ada yang menjawabnya. Supirnya pun tidak terlalu mengacuhkannya. Tapi si ibu itu diam juga dan duduk.
Ternyata, supir Elf tidak mau memberikan sisa uang kami, malah mengajak kami masuk dan memutuskan untuk berangkat ke Bandung. Sepanjang jalan ia mengeluh kalau biasanya ia berangkat dengan penumpang 10 orang, padahal saat itu baru 6 orang. Antara kasihan dan kesal, saya usul untuk membayar tiket kekurangan 4 orang, dengan syarat langsung ke Bandung. Supirnya langsung berhenti berbicara dan mulai konsentrasi nyetir. Berbeda dengan perjalanan berangkat ke Kampung Naga, yang walaupun tanpa macet tapi sangat lambat, pulangnya kami memang cepat tapi penuh kengerian. Supir Elf ini, nyetir tanpa ngerem, padahal jalanan saat itu macet, tapi supir Elf ini berhasil melalui kemacetan jalan tanpa masalah dengan menyalip jalan orang, menyerempet jalan kecil, melalui bahu jalan di jalan tol. Pendek kata, kurang dari 3 jam sampai juga kami di Bandung. Bisa dibayangkan leganya hati saya ketika kaki berdiri di atas tanah.Â
Ibu, yang terlihat ragu saat dipaksa masuk Elf, ternyata diturunkan di tengah jalan juga dan harus nyambung angkot, yang sudah dibayar supir Elf. Kami pun walaupun alhamdulillah selamat sampai di Bandung dengan cepat tapi sepanjang jalan harus merasa tidak nyaman dan membayar untuk 6 orang bagi kami berdua (walaupun dengan sukarela). Kesemua ini menyisakan saya kegelisahan seperti kondisi tanpa kontrol, layaknya hutan, konsumen pengguna angkutan umum tidak memiliki keamanan dan kenyaman. Tidak heran bila orang berlomba-lomba korupsi dan menghalalkan segala cara untuk memiliki uang banyak. Nasib orang kecil memang tidak ada yang perduli. Siapa yang mengurus ini semua ?? Jangan-jangan tidak ada satu pun orang merasa bertanggung jawab dan perduli urusan ini. Sangat menyedihkan bila hal ini harus kita maklumi. (ACJP)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H