Tragis sebetulnya bila melihat sebuah kenyataan, bagaimana para orangtua menuntut anak-anaknya berprestasi di sekolah, beribadah di rumah tapi tidak perduli di mana anak-anaknya membuang sampah. Tidak satu atau dua kali saja, saya melihat dari jendela mobil-mobil di jalan tol, keluar tangan-tangan 'tak perduli' melempar sampah PLUNGGGGGG ... ke jalan seenaknya. Tampaknya pemilik mobil-mobil itu memiliki puluhan juta rupiah untuk membeli mobil tapi tidak mampu membeli tempat sampah mungil untuk menampung sampah di dalam mobil, yang harganya hanya puluhan ribu rupiah saja. Berbicara mengenai sampah di Indonesia, seperti mengurai bola kusut yang tidak pernah lurus. Seorang Profesor lingkungan mengatakan bahwa jumlah manusia sebanding dengan jumlah sampah yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah penduduk semakin besar pula volume sampah dihasilkan. Bisa dibayangkan, dengan jumlah penduduk Indonesia hampir 240 juta jiwa, tanpa kesadaran manusianya serta tidak adanya konsep dan mekanisme penanganan sampah yang holistik dan integral, maka sampah akan selalu menjadi masalah besar. Saya memiliki koleksi foto sampah yang banyak, beberapanya akan saya tampilkan di sini: 1. Di kawah Putih Ciwidey tahun 2008, ketika saya jalan menuju kawah, di sini sedang berkumpul anak-anak SD, tampaknya mereka sedang berwisata dengan sekolahnya. Ketika saya lewat kerumunan mereka, sang guru dengan bangga melalui pengeras suara sedang memuji anak-anak didiknya karena berhasil menjadi juara matematika, juara pidato bahasa Inggris dll. Saya tidak berniat nguping, tapi dengan pengeras suara yang dipasang dalam volume suara paling tinggi, siapa pun di sekitar mereka berkerumun tentu mau tidak mau mendengar pengumuman itu. Saya pun turut berdecak kagum atas keberhasilan anak-anak itu. Namun ketika kembali dari kawah Putih dan melalui tempat itu lagi, saya sangat kecewa. Saya temukan tempat yang penuh sampah ditinggalkan begitu saja. Bagi saya, mendidik anak-anak untuk membersihkan kembali tempat seperti sediakala dan turut bertanggungjawab atas tempat wisata adalah bagian dari edukasi yang penting. Prestasi saja tidak cukup bila praktik mudah, untuk tidak membuang sampah seenaknya tidak pernah diajarkan. [caption id="attachment_196585" align="aligncenter" width="500" caption="Di daerah Kawah Putih Ciwidey 2008 (dok pribadi)"][/caption] 2. Pemandangan di tempat jajan sebuah SDN yang cukup terkenal prestasi akademiknya tahun 2007 di Tangerang Selatan. Saya di sini hanya ingin menunjukkan bahwa pendidikan cinta lingkungan, tidak hanya di mulut saja tapi juga perlu ada teladan untuk mempraktekannya. Bila sebuah institusi mulia di mana nurani muda mulai diasah tidak lagi mau perduli terhadap lingkungan di sekitarnya, apalagi yang bisa diharapkan dari pendidikan ?? Sekolah hanya sebuah media pencetak anak-anak dengan hasil ulangan tinggi tapi tidak memiliki keperdulian terhadap lingkungan ?? [caption id="attachment_196588" align="aligncenter" width="300" caption="Sampah jajanan sekolah (dok pribadi)"]
Napoli yang terletak di kaki gunung Vesuv, dekat kota Pompeji yang penuh sejarah, adalah kota nomor tiga terbesar di Itali setelah Roma dan Milano. Di dalam kotanya saja hidup 1 juta orang, ditambah penduduk sekitarnya menjadi 4,4 jutaan orang. Angka pengangguran di sana luarbiasa tinggi, berfluktuasi antara 20 sampai 30%. Tidak mudah mencari data akurat perekonomian di sana, karena sebagian kegiatan perekonomian dikuasai oleh para camorra, yang bergerak di perdagangan terselubung seperti perdagangan ilegal, penyelundupan, prostitusi dan narkoba. Hal ini membuat para camorra secara tidak resmi menjadi pembuat lahan pekerjaan terbesar Napoli.
Nah, apa hubungan para camorra ini dengan sampah ??Apa para mafia ini cinta lingkungan ?? Ternyata ... ujung-ujungnya, uang lagi ... uang lagi. Khusus sektor persampahan ini mendatangkan uang per tahunnya sebesar 1,5 milyar Euro bagi para mafia, begitu menurut Legambiente, biro Lingkungan di sana. Maklumlah, mereka melakukannya tidak sesuai prosedur dan ilegal, mereka membuka perusahaan pengelolaan limbah berbahaya di Itali Utara, tapi limbah beracun ini alih-alih mereka kelola sesuai prosedur, mereka kirimkan saja ke negara ketiga atau menimbunnya di region (propinsi red.) Kampari di mana Napoli terletak. Bahkan daerah penimbunan ini, di atasnya ada yang mereka jadikan perumahan.
Tahun 1994 sebetulnya telah disepakati untuk membuat undang-undang pengelolaan sampah dengan baik di Napoli, meliputi pemilahan dan daur ulang juga fasilitas pembakaran sampah. Namun apa ... sampai saat ini, setelah bertahun-tahun berlalu dan milyaran Euro dikeluarkan, tidak ada satupun fasilitas pembakaran sampah berdiri dan tidak satu pun TPA legal dibuat. Bahkan, para camorra, yang juga menangani sampah kota Napoli ini pun sengaja mencari kesempatan dalam kesempitan, mereka menyalahgunakan situasi darurat, karena mereka tahu betul situasi darurat membuat uang lebih lancar dicairkan dan peraturan tidak terlalu ketat ditaati. Apalagi penduduk setempat sangat tergantung pada para camorra sebagai pemberi lahan kerja terbesar di sana.
Hanya saja, akhir-akhir ini perang antar geng dengan banyak korban jiwa semakin menguat di sana. Masalah semakin rumit karena ditambah dampak lingkungan akibat pembuangan sampah dan limbah berbahaya ilegal semakin mengganggu. Nama Napoli sebagai penghasil keju Mozzarella terkenal semakin terusik, karena air lindi dari pembuangan tanpa isolasi TPA dikabarkan mencemari para sapi di sekitar peternakan. Pompeji sebagai atraksi turis walaupun di sana bersih dari sampah, membuat enggan para turis mendatanginya, karena Napoli sebagai kota besar di dekatnya mulai bau sampah.
Solusi sementara mereka sejak tahun 2004 adalah mengirimkan sampahnya ke Jerman. Bagi Jerman tentu saja menyenangkan, memberikan devisa dan listrik dari PLTSa, pembangkit listrik dari sampah yang memang sedang kekurangan sampah. Biaya 190 Euro per ton sampah pun akhirnya harus dikeluarkan oleh pemerintah daerah Napoli agar daya tarik pariwisata Napoli tetap menarik. (ACJP)
sumber:
[1] http://jakarta.okezone.com/read/2012/02/11/450/573811/sektor-pariwisata-penyumbang-devisa-nomor-5
[2] http://poskota.co.id/megapolitan/2010/12/09/1-800-ton-sampah-ibukota-yang-parkir-di-teluk-jakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H