[caption id="attachment_381658" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi. (shutterstock)"][/caption]
Ketika kurikulum 2013 mulai diterapkan pada bulan Juli 2013, media online ramai mewartakan kekurangan kurikulum 2013 dari pandangan orang-orang tertentu, lalu sekarang ketika Anies Baswedan menghentikan kurikulum 2013 untuk sekolah, yang belum menerapkan kurikulum 2013 selama 3 semester lebih, media online tiba-tiba mewartakan berita sebaliknya, bahwa kurikulum 2013 itu ternyata positif.
Saya sebagai pembaca jauh dari tanah air dan tidak berhubungan langsung dengan kurikulum 2013 jadi heran dan mengharap tentunya media online lebih serius dan dapat menyuguhkan berita hasil kaji dan olah informasi yang kompeten dan obyektif, bukan sempalan wawancara dan curhat dari kubu pro dan kontra saja, yang hanya menyoroti sebagian dan mungkin hanya menguntungkan sepihak.
Bagi saya dan mungkin pembaca lain yang tidak terlibat langsung tapi perduli, tentu menjadi sulit menilai dan turut berpendapat bila isi berita tidak obyektif. Selain fungsi berita tidak terpenuhi seperti sejatinya juga hanya akan memperuncing pro kontra, tanpa tahu akar masalah dari kedua kurikulum.
Ah ... apa pun, saya hanya ingin menuliskan tentang pengalaman saya sebagai orang tua dan menyinggung indikator keberhasilan kurikulum. Tentu sudah banyak yang tahu ya tentang PISA (Programme for International Student Assessment), penilaian tingkat dunia yang diselenggarakan tiga-tahunan, untuk menguji performa akademis anak-anak sekolah yang berusia 15 tahun, dan penyelenggaraannya dilaksanakan oleh OECD. Tujuan dari studi PISA adalah untuk menguji dan membandingkan prestasi anak-anak sekolah di seluruh dunia, dengan maksud untuk meningkatkan metode-metode pendidikan dan hasil-hasilnya.
Nah ... kenapa menurut saya kembali ke kurikulum 2006 itu absurd karena indikator keberhasilan PISA terbaru tahun 2012, menunjukkan Indonesia berada di peringkat KEDUA TERBAWAH di dunia, dari sekian banyak negara, Indonesia ada di urutan kedua paling terpuruk, baik itu di bidang Mathematika, kompetensi membaca atau pun Sains. Dan saya perjelas di sini, siswa yang diuji dalam PISA 2012 adalah produk kurikulum 2006 ini. Dan ditambah pengalaman pribadi melalui anak-anak saya, yang sempat mengenyam kurikulum 2006, maka bulatlah pendapat saya bahwa kembali ke kurikulum 2006 merupakan absurditas.
[caption id="attachment_381636" align="aligncenter" width="630" caption="Hasil studi PISA (Programme for International Student Assessment) 2012, Indonesia di peringkat kedua dari bawah dari http://www.oecd.org/berlin/themen/PISA-2012-Zusammenfassung.pdf"]
Pengalaman Pribadi Melalui Kurikulum KTSP 2006
Anak-anak saya sempat mengalami kurikulum KTSP 2006 selama hampir 4 tahun di daerah Tangerang Selatan dari tahun 2007 sampai tahun 2011. Ketika kami kembali ke Indonesia tahun 2007, putri saya masuk ke kelas 5 SDN dan putra saya ke kelas 2 SDN. Tentu saja saya bisa menilai dan merasakan betapa bedanya titik berat kurikulum 2006 itu dengan kurikulum Jerman. Tidak hanya kurikulum tapi metoda pengajaran serta atmosfir dan budaya pendidikan pun sangat berbeda.
Diantara putri saya yang masuk kelas 5 SD dan putra saya yang masuk kelas 2 SD, saya rasakan paling berat mendampingi putra saya di kelas 2 SD. Hal ini bukan saja karena bahasa anak-anak saya belum sebaik bahasa Indonesia teman lainnya di kelas, tapi juga materi pelajaran kelas 2 SD tidak sesuai untuk anak umur 7-8 tahun.
Jadi menurut saya, kurikulum KTSP 2006 juga butuh perbaikan, alasannya sbb.: