Mohon tunggu...
Kristo Ukat
Kristo Ukat Mohon Tunggu... Pemuka Agama - Dosen di STP St. Petrus Keuskupan Atambua-Kefamenanu-Timor-Nusa Tenggara Timur

Menulis, Membaca, Fotografi, Bertualang

Selanjutnya

Tutup

Diary

Laranya Seluas Bumi, Tabah Setinggi Langit

19 Juli 2023   10:39 Diperbarui: 19 Juli 2023   10:59 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada seorang gadis cantik berusia 7 tahun, ibu dan ayahnya meninggal saat dia berusia 5 tahun dan adiknya berusia 7 bulan. Sudah 2 tahun kedua kakak beradik ini tinggal bersama kakeknya yang berusia sekitar 87 tahun, sang kakek sudah sangat tua, matanya pun sudah mulai rabun, jalannya pun sudah mulai bungkuk dan hidup seorang diri dalam sebuah gubuk di pinggiran kota Sari Kefamemanu. Sang kakek hanya mempunyai satu orang anak perempuan karena istrinya meninggal saat melahirkan anak perempuannya itu.


Untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, sang kakek menjual sapu lidi sambil berjalan keliling di keramaian kota sambil memulung sampah-sampah plastik di pinggiran Kota Sari.

Waktu itu hari sedang panas, matahari seakan-akan sedang menunjukkan taringnya pada bumi. Di bawah sinar matahari yang panas itu sang kakek dan dua orang cucunya yang masih kanak-kanak menjelajahi Kota Sari untuk menjual sapu lidi. Tangan kiri sang kakek memikul sapu lidi di punggungnya dan tangan kanannya memegang tangan sang cucu agar dapat dituntun dalam berjalan. 

Karena mata sang kakek sudah mulai rabun, sedangkan sang cucu memegang tangan kakek sambil mengendong adiknya yang berusia 2 tahun di pundaknya dan memegang sebuah karung untuk memulung sampah-sampah plastik yang ditemuinya. Terkadang mereka sampai tersesat atau pun susah untuk menyeberang jalan, karena sang cucu yang masih berusia 7 tahun, dan belum begitu mengenal keadaan perkotaan.

Dalam perjalanan mereka menjual sapu lidi itu, langkah mereka terhenti ketika sampai di depan sebuah gareja yang ada di Kota Sari. Mereka terlihat sangat lelah dan raut wajah mereka terlihat menahan lapar dan haus. Wajah sang kakek berkeringat dan matanya pun nampak berkaca-kaca memandangi kedua cucunya, yang nampak sudah lelah dan kelaparan.

Beberapa saat kemudian sang kakek mengajak cucunya untuk masuk ke gereja dengan maksud untuk menawari sapu lidinya. Saat mereka berjalan masuk ke dalam halaman gereja, ada seorang perempuan yang terlihat ingin membeli sapu lidi mereka yang harganya 10 ribu.

Perempuan itu membeli 2 buah namun memberikan uang pecahan 50 ribu tanpa meminta kembali. Sang kakek sangat ingin mengembalikannya tapi ibu itu menolak. Lagi pula sang kakek pun tak punya uang kembalian karena sang kakek baru mendapatkan pembeli pertama. Setelah perempuan itu beranjak pergi sang kakek lalu berbalik menghadap ke Gua Maria yang ada dalam halaman gereja itu. Penuh rasa hormat sang kakek menundukkan kepala dan melakukan tanda salib sambil mengucapkan terima kasih. Terlihat jelas air mata sang kakek jatuh di pipi. Lihatlah lara-nya sudah seluas bumi, tapi tabah-nya setinggi langit.

Saya bertemu dengan kakek dan cucunya itu di Gua Gereja Naesleu. Saat itu saya baru selesai berdoa. Saya melihat kakek dan cucunya yang sedang beristirahat di depan Gereja. Karena kejadian inilah hingga saya bisa mendapatkan sedikit informasi tentang kehidupan mereka.

Mungkin bertemu dengan mereka adalah jawaban dari doa saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun