Mohon tunggu...
Kris Hidayat
Kris Hidayat Mohon Tunggu... Editor - urip iku obah

Damai Indonesia, Indahnya beragama dalam keberagaman negeri tercinta..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Temanilah Saya"

5 November 2010   03:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:50 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya menuliskan surat ini atas nama seorang sahabat saya. Dia pemalu. Dia tak berani nyatakan sendiri isi hatinya. Tak apalah. Sering, kita diminta menjadi suara hati sesama kita. Perjumpaan kami tidaklah diawali dengan kisah yang gembira. Sebaliknya, kesedihannyalah yang mempertemukan kami. Usianya masih sangat muda. Namun, ternyata, kehadirannya tidaklah disambut dengan suka cita. Saya tidak tahu mengapa orang membencinya. Baiklah, mungkin sayapun belum terlalu lama mengenalnya, namun, dari saudara2 kandungnya yang saya temui di beberapa tempat, setahu saya mereka dari keluarga baik-baik. Ya, memang, belakangan ini, keluarga besar mereka ada saja yang mengalami peristiwa seperti yang dialami sahabat saya ini. Bahkan ada diantara mereka yang sudah terusir dari tempat dimana tadinya mereka berada. Terusir? Iya, benar, terusir. Inilah kesedihan sahabat saya ini. Dalam usia mudanya, dia mulai merasakan tekanan yang menuntutnya pergi. Kalau Anda tanya mengapa, saya juga tidak bisa jelaskan, sebab setahu saya, orang-orang yang benci dirinya, bahkan sejak dirinya masih dalam rahim ibunya, membenci dirinya sekedar karena keberadaannya. Mereka hanya tidak suka sahabat saya. Titik. Dan kebencian mereka, diungkapkan dengan fitnah, termasuk dengan tekanan pada orang2 yang masih mau menemani dan membelanya. Ya, saya kira itulah sedikit bagian yang membahagiakan dari kisah sahabat saya ini. Ternyata, masih ada orang yang bersedia menemaninya dan membelanya, disaat sekelompok orang mencaci dan meludahinya. Ada satu hari di dalam satu minggu dimana saya selalu menyaksikan orang-orang yang mengunjunginya, bercengkerama bersamanya, duduk di pelatarannya yang berdebu dan bising. Entah apa yang ada dihati orang-orang itu namun ketulusan mereka menemani sahabat saya ini sangat saya kagumi. Tak ada yang mereka peroleh ketika mereka datang menemani sahabat saya ini. Justru sebaliknya, banyak hal yang justru mereka berikan bagi sahabat saya yang sedang bersedih ini. Satu saat, saya melihat orang-orang itu rela berdiri dan bernyanyi-nyanyi bersama sahabat saya, mencoba menghibur hatinya. Lain waktu saya melihat orang-orang itu rela duduk di pelataran berdebu tadi, meski hujan dan panas mendera. Bahkan di waktu lainnya, berkali-kali, saya menyaksikan orang-orang itu berbondong datang, tak peduli ada orang-orang berseragam yang sebenarnya memerintahkan mereka pergi. Namun mungkin, seiring waktu, orang-orang itu, kini mulai terlihat lelah. Kegempitaan dan keriaan yang tadinya terlihat jelas dari kumpulan orang yang datang berkumpul bersama memberi semangat pada sahabat saya, belakangan mulai tampak meredup. Mungkin saya salah, tapi paling tidak, perasaan inilah yang dirasakan sahabat saya, yang dia ingin saya sampaikan pada Anda semua. Maafkan dia yang tidak bicara langsung pada Anda. Dia terlalu pemalu. Mungkin juga karena rupanya sungguh tidaklah elok. Beberapa bagian tubuhnya tidak lengkap. Dibandingkan dengan sesamanya, dia sungguh lebih mirip orang terlantar ketimbang seseorang yang berdiri dalam segala keanggunannya. Apalagi, ah, tangannya kini dirantai oleh orang-orang yang membencinya. Bayangkan, tubuhnya tak lengkap, dibenci dan dirantai. Saya rasa, dia punya alasan penuh untuk tidak secara langsung ungkapkan isi hatinya pada Anda semua. Di telinga saya, dia berbisik; membisikkan harapannya yang ditujukannya pada Anda semua: "Temanilah saya" Ah, dia rindu hadirnya Anda lagi di pelatarannya yang berdebu. Tak ada penganan nikmat yang dia sajikan. Debu dan kebisingan jadi penyambut semua yang datang kepadanya. Kebosanan jelas akan cenderung datang bagi siapapun yang mau secara terus menerus mengunjungi dan menemaninya. Oya, dia pun tak tahu sampai kapan semua ini akan terjadi padanya. Namun entah sampai kapanpun, dua kata itulah yang dia bisikkan ditelinga saya, bagi Anda semua, dan sebenarnya, juga buat saya: "Temanilah saya" Ah, maafkan kealpaan saya. Saya lupa sebutkan siapa sahabat saya ini. Namanya, GKI Bapos Taman Yasmin Bogor. Biasanya, setiap Minggu pagi pukul 8, dia akan berdiri di satu pelataran berdebu. Berharap masih ada sahabat-sahabatnya yang masih mau bertahan menemaninya dalam kehinaan yang dialaminya. (ABSS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun