Kemacetan di Indonesia sudah menjadi kebiasaan dari hari ke hari. Banyak solusi dan metode diterapkan demi mengatasi masalah kemacetan. Di Jakarta khususnya, berawal dari kebijakan three-in-one, yang berarti satu buah mobil berisikan minimal tiga orang penumpang. Kemudian diubah menjadi Gage (ganjil-genap)  yang membuat kendaraan hanya dapat melintas di tanggal tertentu saja. Kemudian perbaikan transportasi yang awalnya jelek, kemudian menjadi bagus dan nyaman. Munculnya bus Transjakarta juga sebagai usaha pemerintah DKI Jakarta untuk mengalihkan pengguna kendaraan bermotor, menjadi pengguna transportasi umum. Transjakarta dan kereta commuter line menjadi transportasi umum yang favorit oleh pekerja di Jakarta. Nyatanya sampai hari ini masih saja terjadi kemacetan.
Kemacetan disebabkan karena meledaknya jumlah kendaraan bermotor di jalanan, sehingga kendaraan menumpuk dan tidak dapat berjalan. Padahal, jalanan bebas hambatan (jalan tol) di Jakarta memiliki batas  kecepatan terendah yaitu 60 kilometer perjam. Namanya jalanan bebas hambatan, kenyatannya justru malah terhambat. Di masa sekarang pun, jalan tol rata-rata hanya lancar di waktu dini hari saja. Sedangkan jam kerja pekerja di Jakarta dimulai paling pagi yakni pukul 08:00, sehingga pukul 06:30 sudah mulai padat kendaraan bermotor. Semakin siang justru semakin padat, semakin macet. Untuk melintasi jalanan sepanjang 20 kilometer saja dapat menempuh waktu selama kurang lebih satu jam.
Jalanan terus bertambah, semakin dibangun demi memperlancar arus kendaraan, tetapi masih belum sepenuhnya mengatasi masalah kemacetan. Tarif jalan tol pun yang sudah tidak murah, penggunaan BBM yang juga tidak semurah zaman premium tidak juga mampu membendung lonjakan kendaraan pribadi di jalanan Jakarta. Tidak hanya itu, pajak kendaraan bermotor juga tidak murah, mengingat kendaraan yang melintas di Jakarta didominasi kendaraan-kendaraan berusia muda. Daya beli masyarakat akan kendaraan bermotor juga cukup tinggi. Padahal, kenyamanan di Jakarta jelas kurang karena kemacetan dan suhu yang panas menyebabkan stres, rasa bosan, dan kelelahan dialami oleh pengemudi kendaraan bermotor.
Dari media sosial dan sekitar kita, tidak mampu dielakkan, banyak orang-orang yang justru tidak patuh dalam berlalu lintas. Pelanggaran lalu lintas di jalanan sangat tinggi, paling banyak dilakoni oleh pengemudi kendaraan roda dua. Benar saja, putaran arah di Jakarta dibuat jauh untuk menyeimbangkan kepadatan lalu lintas. Tetapi pengemudi justru mengambil cara pintas seperti melawan arah/arus, masuk busway, menerobos lampu merah, melanggar larangan berputar arah dan berbelok, naik ke trotoar, dan masih banyak lagi.
Upaya hukum memang semakin diperkuat dengan adanya tilang elektronik, menyiagakan CCTV berkualitas tinggi, kemudian memberikan sanksi tilang/denda dengan mengirimkan bukti pelanggarannya ke alamat pemilik kendaraan. Nyatanya belum juga membuat jera pengemudi kendaraan bermotor. Pengemudi juga semakin bersiasat untuk menghindari tindakan tersebut, caranya adalah mengelabuhi petugas penegak hukum dengan memasang plat nomor kendaraan palsu atau tidak memasang plat nomor kendaraan. Memang ada beberapa yang mengaku tujuannya adalah untuk menghindari debt collector merampas kendaraan mereka yang bermasalah dalam hal pembayaran.
Itu masih dalam hal pelanggaran lalu lintas di jalanan, padahal penegakkan hukum masih banyak sekali aspeknya. Ketaatan pajak, kelengkapan dokumen kendaraan dan pengemudi, kelengkapan komponen kendaraan, serta atribut ilegal yang sering ditemui seperti pemasangan sirine dan lampu strobo sebenarnya juga sangat perlu ditindak.
Di media sosial, setiap harinya disuguhkan fenomena-fenomena tingkah laku pengemudi di jalan yang tidak wajar. Ya selain pelanggaran lalu lintas, tingkah koboi yang anarkis, arogansi di jalan, kecepatan melampui batas sangat mudah ditemukan. Namun semua seolah menjadi pembiaran di tengah-tengah masyarakat. Kecuali viral, maka dalam hitungan jam langsung saja ditindak tegas. Viral dibalas dengan viral, seolah media sosial adalah drama yang menunggu kelanjutan episodenya, tidak lama kemudian episode berlanjut menentukan bad atau good ending.
Andaikan saja seluruh pelanggaran tersebut ditegakkan dengan sangat tegas dan teratur, maka banyak sekali keuntungan yang didapat. Selain keamanan dan kenyamanan, program pemerintah untuk mengatasi kemacetan, pendapatan daerah juga meningkat. Namun harus jelas siklusnya, tidak ada tindakan tebang pilih, suap, atau pun cara-cara untuk lolos dari jeratan hukum. Bukan membenarkan tindakan suap, nyatanya tindakan suap di jalanan itu juga sama seperti tindakan tilang yang legal. Perbedaannya adalah sasarannya, seharusnya untuk daerah namun lari ke oknum pribadi. Keduanya adalah sama-sama 'memaksa' pelanggar untuk membayar sejumlah denda agar jera. Sedangkan jika mengikuti sidang, orang bisa menunggu berhari-hari bahkan berminggu-minggu untuk sidang. Biayanya lebih murah, namun lebih merepotkan, hal itu yang melatarbelakangi oknum pengendara menawarkan opsi 'damai' agar secara instan menyelesaikan masalahnya.