Belok Kiri Fest waktu itu hendak memutar sebuah film dokumenter tentang pulau Buru, pulau itu memiliki pandangan buruk di masa lalu, entah ada sebuah sejarah lisan yang tidak diceritakan hingga selesai. Pulau itu merupakan tempat anu, sudah itu saja. Tapi, sekarang jadi apa? Butuh penjelasan dong, nah itu dia ada yang memfilmkan pulau tersebut, cantik! Tetapi naas, pemutarannya di anggap kontroversi dan memacu kerusuhan. Hmmm... memangnya dia (penolak) sudah nonton, kok tampaknya begitu gentar dengan pemutaran itu? Ada apa ya? Saya curiga. Pemutaran yang direncanakan hari itu di Goethe Institut batal dengan alasan keamanan. Lah, piye iki? Tapi saya tidak mau bahas selanjutnya, capek saya ceritanya, tidak ada habisnya. Intinya ya pindah-pindah, entah berhasil atau tidak diputar film dokumenter tersebut. Mungkin jadi tetapi bungkam, atau memang bungkam dan batal. Entahlah.
Ada juga salah satu sastrawan wanita dengan aliran feminis, lahir di rezim orba, siapa lagi yang tidak lain tidak bukan, Ayu Utami. Sosok cerdas dan luar biasa ini pandai merangkai kata-kata dalam karyanya. Novel Saman yang beberapa kali orang pikir porno, sebenarnya ada maksud memaparkan pikiran dan idenya di masa itu. Basi memang, tapi perlu dikemukakan. Coba tengok, wanita ini mengeluarkan karyanya di masa runtuhnya bapak kita, isinya memang dapat dikatakan bahaya untuk rezim saat itu. Kemasannya tepat untuk mengungkap di masa runtuh dan membuka mata-mata yang tetutup saat itu. Esainya juga begitu menyindir pemerintahan Soeharto masa itu, otonomi daerah yang lagi-lagi dicanangkan oleh Presiden B.J. Habibie, bukan Presiden Soeharto. Pembangunan yang tidak merata membuat Ayu Utami geram, pusat sebagai induk dari segalanya begitu makmur dan daerah hanya jadi nilai rendah.
Saya baru baca esai-esainya, ya tepatnya baru saja diberikan dosen saya, wah ternyata esainya cerita hal kesenjangan kota dan desa, pemerintah memisahkan secara tajam antara pusat dan daerah (sentralistik). Teori mobilitas sosial juga terlihat sangat mustahil masa itu jika anda bukan ABRI, pengusaha kelas kakap (termasuk pedagang). Miskin ya miskin, menengah tentu sulit, tidak berkutik. Tetapi, ada bagusnya saat itu, pemerintah rezim itu membangun banyak sekolah Inpres di seluruh Nusantara yang sangat membantu, tetapi sekali lagi hal itu meninggalkan hutang, sampai saat ini belum lunas. Nah Ayu Utami saya katakan keren, coba ia bersuara di rezim itu, bisa habislah ia, di cap PKI atau mungkin Gerwani.
Kembali ke sastra di rezim orde baru, saya begitu angkat topi ke salah satu maestro negeri ini. Namanya Warung Kopi atau jelasnya WARKOP DKI, sebuah grup lawak yang dibintangi oleh trio kawakan Dono, Kasino, dan Indro. Memang mereka hanyalah aktor dalam acara-acara lawak, tetapi sangat jarang orang menyadari lawakan mereka kerap menyindir rezim orba. Coba lihat beberapa kali ada kalimat yang menyentil seperti "asal bapak senang", "mentang-mentang ABRI", juga banyak lagi, sebaiknya anda tonton dan cermati sendiri, karena sesuatu yang diberitahu gamblang akan terasa basi. Saya angkat topi karena mereka menjadi salah satu orang-orang yang aman saat itu. Coba baca lagi ke atas, sindir saja bisa jadi masalah, apa lagi kritik keras. Masa itu pemikir cerdas dan kritis bisa di anggap PKI, jika wanita di anggap Gerwani. Bahkan pria berambut gondrong bisa menjadi masalah dan fitnah.
Selain itu adalah Iwan Fals yang secara frontal mengemukakan kegelisahannya kepada negeri ini, tetapi beliau selamat. Â Karya-karyanya menjadi pioneer pergerakan rakyat masa itu, tetapi saya katakan lagi, dia aman. Rakyat dengan bangga menyanyikan lagu-lagunya dan menjadikannya lagu kesukaan. Malah, punya fans yaitu OI, keren ya.
Saya intinya ingin bicara, orang-orang yang berhasil di bungkam dahulu, rasanya kesal pastinya ingin sekali mulutnya berucap keluh kesahnya, maaf, maksud saya pengalamannya. Ya seperti sebuah cinta, siapa bilang cinta tidak harus memiliki, cinta itu harus memiliki. Caranya apa? Ya ungkapkan dahulu, susah memang, bungkam, tetapi bisa juga sih tanpa memiliki, asal isi hatinya terpuaskan. Tapi pada kodratnya ya memiliki, cuma saja mustahil cinta satu arah itu. Ah, sudahlah, kok jadi bicara cinta. Mungkin masa lalu perlu dikemukakan, rasa-rasa terpendam masa ini mulai terangkat lagi, tidak ada kata basi dong, mereka ingin lampiaskan, ya sekaligus kita butuh update terkini soal sejarah. Lucu ya, update sejarah.
Tapi kan susah, larangan di mana-mana, padahal rezim berbeda. Ada isu PKI pula sekarang, tapi siapa yang bangkit? PKI mana mungkin bangkit, siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Siapa yang bangkit? Tuh, empat kali supaya sial PKI itu, kan menurut Tionghoa empat itu sial bahkan mati. PKI sudah mati, yang dikhawatirkan justru orba yang bangkit. Orba masih sangat bisa bangkit, kenapa? Baca saja lagi dari awal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H