Beberapa hari lalu aku melihat sebuah foto Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) tengah meninjau waduk Pluit, Jakarta Utara. Lama aku mengamati postur Jokowi yang kurus, kering, kerempeng serta wajah yang keletihan dengan tatapan mata redup yang menatap jauh ke depan. Tak terasa air mata pun menggenang di pelupuk mata. Perasaan sedih dan bersalah bergabung menjadi satu. Ini adalah orang yang sama yang disebut paling banyak mendapat dukungan sebagai Pemimpin Indonesia. Jelas sudah bahwa itu adalah foto orang yang juga mendapat dukungan paling banyak sebagai pemimpin Jakarta. Dia pula adalah nama yang paling dibela dalam berbagai status dan komentar di berbagai media. Sedemikian banyak orang yang memujanya, tak terhitung pula yang menyatakan mendukungnya. Namun, apa yang aku lihat waktu itu adalah foto sosok orang yang berjalan sendiri, kesepian dan keletihan. Sungguh seperti itukah yang kau rasakan wahai Jokowi? Aku menaruh kepercayaan yang besar kepadamu. Aku menaruh harapan yang meluap-luap kepadamu Jokowi. Aku menaruh beban yang besar di atasmu wahai Perantau.. Engkau yang meninggalkan kampung halamanmu untuk kami yang mempercayaimu, berharap kepadamu. Tapi, maukah aku berbagi pundakku atas beban yang aku timpakan padamu? Maukah aku menemanimu melalui jalanan yang rusak dan terjal menanjak? Kami mengharapkanmu untuk membebaskan Jakarta dari banjir, tapi apakah kami mau membuang sampah pada tempatnya? Maukah kami menjaga kebersihan dan menjaga kehijauan lingkungan kami? Membuat resapan air di halaman rumah kami? Maukah kami menyingkir dari tempat tinggal kami di bantaran kali, waduk dan danau? Kami memintamu untuk membebaskan kami dari kemacetan jalan yang kami temui setiap hari, tapi kenapa kami memilih terjebak di tengah kemacetan di dalam dan di atas kendaraan-kendaraan pribadi kami? Kenapa kami ngotot berjualan di pinggir dan bahkan di tengah jalan? Kenapa kami bertebal muka parkir di sembarang tempat yang kami sukai? Dan kamupun berjalan sendirian Jokowi. Tertatih - tatih memanggul sekarung besar harapan kami, sementara kami menatapmu dengan berbinar- binar dari kejauhan. Ayo! Jokowi! Kamu bisa!  Kami mendukungmu! Kami berteriak - teriak seperti pendukung di luar lapangan untuk pertandingan yang mestinya juga kami ikuti sebagai pemain. Aku bersumpah serapah bagi orang yang menghalangi jalan kuli yang memanggul beban barang-barangku sementara aku berjalan berlenggang. Kami seperti anak manja yang duduk manis di atas kursi berteriak minta ini dan itu kepada orang tua kami yang jungkir balik untuk memenuhi kebutuhan kami. Jika kami mempercayaimu. Jika kami mendukungmu, mestinya kami turut menemanimu dalam perjalanan panjangmu. Jika kami menaruh harapan bagimu, mestinya kami juga mau berjuang agar kamu bisa memenuhi harapan kami.Mestinya kami tidak pernah membiarkanmu berjalan sendirian untuk kami. Mestinya kamu takkan lagi berjalan sendirian, Jokowi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H