Rumah nuansa etnik masih cantik. Ukiran-ukiran jadi ciri khas menonjol. Pernak-pernik perabot jadikan suasana seperti museum. Fadly bersama sang istri menjumpai sang tuan rumah. Suguhan rempah sebagai jamuan selamat datang, ditambah jajanan khas tempo dulu. Wajik hijau dari ketan, sungguh menggoda selera. Semua tamu disambut lagu kenangan lewat piringan hitam.
Kami bercanda tawa menikmati kenangan masa-masa SMA. Rambut putih serta kerutan di kulit, tak menghalangi untuk mengingat masa-masa terindah.
Tak terasa berbincang hingga sang senja menjemput. Kami sedih, apakah kebersamaan ini akan terulang kembali?
Untuk terakhir kali, tuan rumah menawari oleh-oleh dari hasil kebun sendiri serta olahan sang istri yang dihidangkan. Kami disuruh memilih untuk mengisi tas anyaman kayu.
Waktu berselang, pikiran Fadly melayang,
"Andai dulu membawa pulang buah jeruk dan apel mungkin tak seperti ini."
Fadly saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Kadar gula darah serta kolesterol tinggi, mengakibatkan tekanan darah juga naik.
Setelah pulang dari reuni bersama teman-teman, malam itu dihabiskan jenang yang dibawa. Baginya ini makanan langka yang tiap tahun tidak tentu ada. Selain itu waktu dirumah sang teman, dia kerapkali mengambil belinjo serta wajik.
"Mumpung ada, kapan lagi, " pikir Fadly. Namun keesokan hari, badannya lemas serta kepala berat.
"Molo paet unang pintor utahon, molo manis unang pintor bondut". Bila pahit jangan langsung dimuntahkan dan bila manis jangan langsung ditelan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H