Siang bolong, terik matahari menyengat kulit. Aku menemukan tempat perteduhan, biasa mangkal. Hari ini daganganku tinggal sedikit, diborong para muda-mudi. Mungkin karena ada pertandingan bola nasional.
Aku duduk di bangku becak. Seperti biasa kuambil dagangan, lalu kubuka. Angin sepoi-sepoi membuat mataku terpejam.
"Pak ..., " terdengar suara samar-samar memanggil.
Kami berbincang sejenak, setelah sepakat, aku mengantar mereka. Melewati jalanan menanjak, cukup menguras tenaga. Memang becakku masih tradisional, yang belum dimodifikasi dengan motor. Aku tak patah arang untuk mengayuh hingga tiba di tempat tujuan.
Matahari masih berseri, kucuran keringat membasahi baju. Tiba-tiba ada anak sekolah memanggil untuk diantarkan ke rumahnya. Melewati jalanan yang sama, kini aku tak perlu mengeluarkan tenaga ekstra. Hingga akhirnya kembali ke tempat perteduhan.
Tanganku menyentuh sisa koran, lalu aku membuka-buka lagi halaman. Betapa tersentaknya, ketika membuka halaman delapan. Imron, mendapat penghargaan juara badminton di kota kami. Senang bukan kepalang, aku berpamitan pada teman-teman untuk pulang duluan.
Tak lupa kukembalikan tiga koran yang tersisa. Syukurlah dapat tambahan tips selain upah hari ini. Sebelum pulang, mampir ke penjual martabak manis kesukaan Imron.
Hari ini aku bahagia, hanya martabak manis ini yang bisa kuberikan sebagai hadiah. Tiba-tiba ada mobil pick up menyeberang di depan. Sontak becakku tersenggol ke kiri, aku terjatuh, lalu di bawa orang-orang ke UGD.
Isteri dan Imron datang, mendekapku sambil menangis. Untunglah aku boleh pulang, walau luka lecet di tangan dan kaki. Kami berkumpul di rumah tanpa martabak manis.
"Tok ... tokkk," suara pintu terdengar keras.