Mohon tunggu...
Heart Light
Heart Light Mohon Tunggu... Mahasiswa - Heart Light🍓

Simple girls 🌷🍀 🌷and be my self Life is Love❤️

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Semangkok Es Buah

20 September 2022   05:00 Diperbarui: 20 September 2022   05:41 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image : pegipegi.com

              Udara serasa membakar kulit. Jarum jam berada di angka 12. Jaket hitam dan helm merupakan kawan dinas, cukup menambah kucuran keringat.

Tenggorokan kerontang serasa di padang gurun. Segera motor mengarah pada gerobak penjual es buah.

"Es buah satu,  enggak pakai nanas ... pak," pintaku pada sang bapak berkumis itu.

Kode tangan serta senyuman, membuatku mengerti untuk sabar menunggu. 

              Terlihat beberapa kursi kosong, namun tarian daun-daun pohon itu membuat tertarik untuk mendekatinya. Kubuka jaket sembari mengibas-ngibas. Seperti mandi keringat, baju yang kukenakan basah kuyup. Angin sepoi-sepoi cukup mengobati dahaga di kerongkongan.


               Sejenak, mangkok putih berisi buah-buah segar siap di hadapan. Tak lupa mengaduk, satu sendok kubiarkan mengaliri kerongkongan. Saking asik dengan manis dan segar buah sampai tak sadar nenek tua berdiri di hadapanku.

Tanpa suara hanya tangan mengadah ke bawah. Awalnya, ingin kuberi kode maaf agar segera pergi. Entah tiba-tiba, hatiku iba melihat wajah tua dan lelah itu. Kurogoh saku, hanya koin yang kutemukan.

Wajah sumringah disertai ucapan doa "mugo-mugo seger waras lan akeh rejeki ya, le." terlontar di mulutnya. 

Aku mengamini doa itu, sambil terus memandang langkahnya menuju gerobak es buah.

               Sang nenek berdiri sambil sibuk menghitung koin-koin. Tak lama, tampak berbincang dengan penjual, sebelum nenek itu duduk. Segera kuhabiskan es yang mencair itu, lalu melangkah untuk membayar.

"Pak, sekalian sama punya nenek ini, " kataku pada bapak penjual es itu.

Dia tersenyum sembari mencari kembalian. Terimakasih keluar dari bibirnya, sambil menyerahkan kembalian. Aku tersenyum serta meninggalkan gerobak es itu.


         Teringat akan kembalian uang berwarna merah itu, semoga cukup untuk membeli bensin. Aku berharap dan berdoa, agar mendapat penumpang pertama yang bisa meneruskan tarikan selanjutnya. 

Aku bersyukur bisa berbagi dengan nenek itu, di tengah kekurangan. Inilah pengalaman sebagai tukang ojek pengkolan, Deri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun