Mohon tunggu...
Kristina Tobing
Kristina Tobing Mohon Tunggu... -

Merindukan kedamaian.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Nu Urang Keur Urang" Film Swasembada Warga Tasik - Screen Below The Wind

18 November 2012   12:06 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:07 219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada pertanyaan menarik pada festival Screen Below The Wind yang saya saksikan tadi: "Apa jadinya jika masyarakat desa diajak membuat film?" Film “Nu Urang Keur Urang” merupakan “proyek keroyokan” warga Mekarwangi Cikatomas dengan Kofita (Komunitas Film Tasik). Dengan durasi yang singkat, 16.14 menit. Cara yang digunakan oleh Kofita cukup unik, mereka hanya berusaha mendorong warga Mekarwangi untuk mendokumentasikan sendiri aktifitassnya dengan menggunaka n handphone untuk mempertahankan potensi sumberdaya alam berbasis masyarakat local. Inilah proses-proses pendidikan yang mampu mempertahankan tradisi mereka agar tidak tercabut dari akar sosial dan budaya yang mereka milik sendiri. Tentu hasilnya jangan dibandingkan dengan film "Laskar Pelangi" yang meski sama-sama menggunakan warga lokal tetapi didukung oleh peralatan, naskah dan tim produksi yang profesional. Namun ke-amatiran itulah yang membuat film “Nu Urang Keur Urang" jadi menarik. Segala kepolosan dalam setiap adegan membuat film ini mengalir dengan jujur, sesuatu yang sudah langka kita temui akhir-akhir ini bukan? Kang Wandi, dari Komunitas Film Tasik atau biasa disingkat Kofita yang berbasis di kota Tasik, menjelaskan bahwa dengan film dokumenter ternyata cukup efektif dalam mengedukasi masyarakat Tasik. Film dokumenter selain mengedukasi juga efektif digunakan untuk menggerakan masyarakat terhadap isu yang ingin mereka angkat. Salah satu cara yang ditawarkan Kofita adalah menawarkan cara yang tidak preventif sekalian dalam penanganan masalah sosial. Dan cara ini berhasil. Untuk menggerakan media dalam melakukan charity. Intinya seperti yang diungkapkan Kang Wandi, sejauh ini sarana film dokumenter cukup efektif untuk menjadi media penyampai pesan yang bersifat proaksi kepada masyarakat. “Nu Urang Keur Urang” adalah bukti bahwa film dokumenter bisa diproduksi oleh siapa saja, sebuah pesan yang memang diangkat oleh Festival Screen Below The Wind ini: mem-booming-kan dokumenter. Festival Layar di Bawah Angin Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) adalah ruang pertukaran budaya dan sejarah Asia Tenggara, melalui film dan foto dokumenter. Festival ini tidak hanya untuk peminat dan pelaku film dan foto dokumenter, tapi juga untuk siapapun yang ingin lebih emahami peristiwa yang terjadi di berbagai negara di Asia Tenggara. Festival ini juga mempertemukan berbagai rekan yang selama ini saling mempengaruhi, yaitu pembuat film & foto dokumenter, publik, pelaku media mainstream dan bisnis melalui  berbagai kegiatan seperti Workshop Film dan Foto Dokumenter, Berbagi Bersama Dokumentarian, Sarasehan Dokumenter Asean. Festival Layar di Bawah Angin (Screen Below The Wind Festival) menyambut kedatangan rekan semua, untuk duduk bersama, saling berbagi untuk memahami realita dengan lebih utuh di dalam suasana yang hangat dan sederhana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun