Sabtu, 11 Januari 2014 Bakrie Group baru saja melakukan gebrakan besar dalam dunia sosial-media. Bukan Bakrie dalam konteks perorangan dan politik yang selalu muncul dalam pikiran kita, namun Bakrie dalam tataran bisnis, dalam konteks ini Bakrie Group.
Bagaimana tidak, pada tanggal itu Path mendapatkan pendanaan Seri C sebesar 25 juta dollar dari Bakrie Global Group dan beberapa Ventura Capital lainnya hal ini dirilis oleh Hacker News.
Dengan melepaskan pikiran negatif tentang Bakrie, secara pribadi saya salut dengan Bakrie yang berani mengambil langkah strategis dengan berinvestasi di Path. Namun, apakah yang saya pikirkan ini sama dengan yang orang lain pikirkan? Maka saya mencoba melihat apa yang terjadi di socmed dengan adanya kabar ini. seperti sudah saya duga, peristiwa Bakrie-Path ini memiliki efek shock kepada publik.
Katakanlah banyak yang berkomentar miring dengan masuknya Bakrie sebagai salah satu investor di Path. Ada yang mengatakan Lapindo belum selesailah, ada yang bilang Bakrie akan jadikan Path sebagai lahan kampanye 2014 lah. Tapi terlepas dari itu semua, rasanya akan baik jika kita melepaskan stigma tentang Bakrie terlbih dahulu sebelum mengomentari langkah berani Bakrie tersebut.
Pertanyaan simpelnya, kenapa publik Indonesia begitu takut dengan Path yang diinvestasi oleh Bakrie? Bukankah sekarang kita berada di era globalisasi dimana batas antar negara "tidak ada" lagi. Lalu mengapa kita menjadi resah ketika ada salah satu perusahaan Indonesia yang menginvestasikan dana untuk socmed bernama Path.
Perlu kita ketahui, Path ini adalah perusahaan startup, yang didirikan hampir tanpa modal. Lalu bagaimana kalau tidak ada modalnya. Bagaimana Path akan menjalankan usahanya sedangkan para penggunanya semakin banyak. Sudah jelas, Path butuh investor untuk menjalankan bisnisnya. Selain investor, Path juga butuh donator untuk menjalankan usahanya dan memanjakan penggunanya.
Perlu diketahui, bahwa Bakrie Group menginvestasikan dalam Seri C bukan hanya ia sendiri, tapi patungan. Lalu kenapa Bakrie yang menjadi simbol investasi ini. Hal ini dikarenakan Path ingin memasuki pasar sosial media di Indonesia, maka Bakrie Group lah yang menjadi simbolnya karena dianggap mengetahui pasar Indonesia. Jadi kesimpulannya, 25 juta dollar itu uang patungan, bukan uang Bakrie Group saja. Dan ini investasi, bukan beli. Bisa di cek perbedaan kata "beli" dan "investasi".
VC yang bersama-sama melakukan investasi Seri C di Path ini notabene adalah VC yang mempunyai portofolio investasi di perusahaan-perusahaan startup atau perusahaan yang sudah melakukan IPO dan awalnya adalah startup seperti Facebook, Linkedin, AirBnb (Greylock Partners), Netflix(Redpoint), 9GAG (First Round Capital), Soundcloud (Index Ventures), Waze (Kleiner Perkins) dsb. Dan Bakrie Group adalah pemimpin dalam konsorsium yang melakukan investasi Seri C tersebut, artinya Bakrie dalam kapasitas lebih besar dibanding VC lain, tidak hanya dari sisi jumlah modal yang disuntikkan, tapi mungkin juga dalam aspek lain didalam konsorsium tersebut.
Ada ketakutan masyarakat Indonesia bahwa Path akan menjadi alat kampanye 2014. Itu bisa terjadi, tapi menurut saya kecil. Kenapa? Karena informasi yang kita share di Path adalah dengan teman yang kita approve untuk jadi teman kita dan maksimal cuma 150 orang dan bersifat privasi. Jadi tidak mungkin kita berteman dengan akun Path official milik Bakrie kalau tidak punya kepentingan satu sama lain. Dan kalaupun Bakrie akan membuat banner di Path tentang 2014, ya tinggal uninstall Path dari device yang kita pakai. Simpel.
Lalu ada juga ketakutan bahwa informasi kita di Path akan digunakan oleh Bakrie. Analoginya gini, kita menggunakan Path itu seperti kita berkenalan dan berinteraksi dengan orang lain. Itu yang social-media adaptasi kedalam dunia digital. Lihat, kita mengisi semua form yang diajukan oleh akun email, akun facebook, dan twitter. Itu sebagai gambaran bagaimana kita berkenalan dengan orang lain. Kalau kita tidak mau diketahui orang, yasudah jangan melakukan kegiatan bersosialisasi.
Maka saya akan tertawa ketika mendengar ada gerakan uninstall Path selama 3 hari hanya karena Bakrie berinvestasi di Path. Pertama, sekarang era digital dimana semua hal sudah mulai masuk kedalam ranah digital. kedua, dengan munculnya gerakan uninstall ini memberikan gambaran kepada kita bahwa kita hanya bangsa konsumtif karena kalau kita mau protes, ya bikin aplikasi socmed yang lebih hebat. Ketiga, apakah kita cukup puas dan bangga menjadi penonton di negara sendiri? Keempat, apakah dengan menggunakan media sosial atau aplikasi paling nge-trend bikinan luar negeri trus udah merasa paling exist? Dan kelima, apakah kita akan selalu sibuk ribut-ribut dengan sesama bangsa, padahal bangsa lain sudah terbang ke Mars dengan teknologi mereka?
Sekarang kita lihat, aplikasi digital yang kita gunakan dan nimati sehari-hari, ada tidak yang dibuat oleh perusahaan Indonesia? Ada mungkin, tapi sedikit atau jarang, atau dulu ada tapi sudah bangkrut atau ditutup. Lalu ada tidak dari aplikasi-aplikasi yang kita pakai, yang didanai oleh perusahaan investasi lokal? Ada mungkin, tapi jarang kita pakai atau bahkan kita tidak tahu sama sekali. Kita lihat lagi bahwa aplikasi-aplikasi populer yang kita gunakan kebanyakan dirintis dan dikembangkan dimana? Jauh di Pantai Barat Amerika Utara sana, di Silicon Valley. Tapi apakah semua negara seperti kita, cuma bisa memakai, mengikuti tren dan menjadi Hipster? Menurut saya tidak.
Lihat China. Hampir setiap ada aplikasi atau ide yang direalisasikan di Silicon Valley menjadi populer, pasti ada clone (tiruannya) di China. Google-Baidu, Facebook-Renren, Twitter-Weibo, Amazon-Alibaba, AirBnb-Mayi, Apple-Xiaomi, dan banyak lagi. Mungkin proteksi dari pemerintah yang sangat ketat menjadi faktor utama dominasi aplikasi lokal di China, sehingga Google saja hanya punya tidak lebih dari 2% market share dan bahkan Baidu sudah mulai ekspansi keluar China. Tapi apakah ada aplikasi digital kita, yang bisa kita banggakan dan digunakan di negara lain?
Dari pada kita protes karena Bakrie melakukan investasi di Path, lebih baik kita lihat diri kita sendiri sudah berkarya apa dalam dunia digital. Kalau kita hanya sebagai pengguna dan tukang download saja maka tak usah banyak protes, karena yang dilakukan oleh applikasi yang kita install itu bisnis, agar kita yang hobinya hanya menginstall enak menggunakan aplikasi tersebut.
Semua dikembalikan ke kita, bagaimana kita ingin membawa perubahan dan perkembangan di masa depan terkait teknologi digital kita. Indonesia pada khususnya, dan Asia Tenggara pada cakupan yang lebih luas adalah pasar yang baru tumbuh dengan potensi yang luar biasa mengingat kekuatan ekonomi Asia Tenggara yang didiami oleh 600 jutaan penduduk, dibandingkan dengan Eropa yang 700 jutaan penduduk, tidak beda-beda jauh kan? Path sendiri kurang diterima dinegara asalnya, kemudian disini mendapat respon positif dari pengguna, bahkan Indonesia adalah salah satu pengguna terbanyak. Apa salahnya ada perusahaan Indonesia yang melakukan investasi di Path?
Walaupun pada akhirnya siapapun yang menyediakan service terbaik yang akan dipilih dan digunakan, tetapi apakah kita cuma mau jadi pemakai? Apakah kita ga mau sebagai yang membuat, atau sekedar yang mengarahkan, atau bahkan ikut mengelola dan mengoperasikan sebagai penyedia service? Itu semua ada ditangan kita juga.
Maka mari kita melihat sebua peristiwa itu secara holistik, secara menyeluruh, jangan setengah-setengah. Kita memang kumpulan masyarakat yang kritis, saya percaya itu, tapi bukan kumpulan masyarakat yang hobi nyinyir tanpa solusi konkret dan karya. Maka objektivitas harus tetap digunakan dan kepala dingin harus tetap dikondisikan.
Ketika kita dengar Bakrie Group dkk melakukan investasi di Path kita protes dengan melakukan uninstall Path namun apakah kita akan melakukan hal yang sejenis yaitu rela tidak menonton World Cup yang lisensi penyiaran di Indonesia dipegang oleh Bakrie Group? So, think again.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H