Mohon tunggu...
Kristin Natalia Manalu
Kristin Natalia Manalu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya merupakan seorang mahasiswa biasa yang menempuh perkuliahan di salah satu perguruan tinggi negeri yang cukup terkenal di daerah saya, saya memiliki hobi bernyanyi, traveling, dan berenang. Memiliki cita- cita dan impian menjadi orang yang mempunyai karir sukses. Berbuat baik dan berusaha taat menjalankan kewajiban dalam aturan agama merupakan prinsip saya. jika ingin mengenal lebih dalam lagi tentang saya, tanya ibu saya atau mari kita berteman. Terimakasih, and happy reading guys :).

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kesetaraan Gender Dapat Mengubah Pola Pikir yang Salah, Apakah mungkin?

20 Desember 2022   23:56 Diperbarui: 21 Desember 2022   00:23 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kristin Natalia Manalu | Dr. Gustianingsih, M.Hum

Beberapa waktu belakangan ini, isu-isu tentang kesetaraan gender banyak beredar dan sedang hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan, mulai dari kalangan anak muda, dewasa, dan yang tua sekalipun. Tidak hanya itu, isu mengenai kesetaraan gender ini juga tak lepas menyita perhatian dari para aktivis sosial, politikus, dan bahkan yang lainnya. 

Sebelum membahas lebih jauh, terlebih dahulu tentunya kita harus mengetahui apa itu yang dikatakan dengan kesetaraan gender. Kesetaraan Gender merupakan suatu keadaan atau pandangan yang merujuk pada suatu kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban yang tidak mendiskriminasi berdasarkan identitas gender yang bersifat kodrati. 

Seperti yang kita ketahui, pola pikir yang berkembang selama ini di indonesia dari sisi kaum perempuan adalah hanya dijadikan sebagai pelengkap saja bagi para kaum laki-laki, kaum perempuan dianggap lemah dan tidak dapat melakukan suatu apapun yang berat, sehingga dalam pengimplementasian di berbagai bidang kehidupannya secara tidak langsung kaum perempuan menjadi dibatasi dalam bertindak. 

Terlebih lagi banyak pola pikir yang mengatakan bahwa kaum perempuan tidak perlu pendidikan yang tinggi karna pada akhirnya hanya sebatas bekerja di dapur, mengurus keluarga dan anak, bahkan jika untuk menjadi seorang pemimpin, kaum perempuan cukup sulit dalam mengambil alih karena harus lebih mengutamakan kaum laki-laki terlebih dahulu yang dianggap lebih memiliki derajat dan keahlian yang lebih atas dibanding kaum perempuan. 

Sedangkan jika kita melihat dari sisi kaum laki-laki, pola pikir yang berkembang adalah bahwa kaum laki-laki secara tidak langsung dituntut untuk selalu kuat secara fisik atau mental sekalipun, seperti contoh laki-laki tidak boleh terlihat menangis walau dalam keadaan sakit atau mengalami kesulitan karena tanggapan orang akan mengatakan bahwa itu lelaki lemah.

Begitu juga dengan pola pikir yang mengatakan bahwa laki-laki yang harus kerja banting tulang, menafkahi keluarga dan anak, laki-laki harus sesuai pada aspek maskulinitas (sifat perilaku atau peran yang berkaitan dengan laki-laki), sehingga ketika seorang laki-laki yang ingin mencoba untuk beralih ke hal diluar itu atau melakukan hal yang identik dengan perempuan tak jarang mendapatkan sebutan dengan kata "banci". 

Dari pandangan-pandangan tersebut, hal-hal semacam itulah yang menjadi dinormalisasikan di kehidupan masyarakat dan menjadi budaya pola pikir yang turun-temurun. Budaya seperti itu bukanlah budaya yang baik untuk diterapkan dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat karena dapat menimbulkan ketimpangan sosial yang terjadi antara kaum laki-laki dan perempuan dan dapat mempengaruhi pola pikir pada generasi yang lain. 

Kaum perempuan tidak selamanya harus bekerja di dapur, karena laki-laki juga ada yang berbakat dalam memasak. Perempuan juga dapat menjadi seorang pemimpin karena banyak perempuan yang ahli dalam bidang tersebut dan memiliki potensi yang lebih baik dari laki-laki, perempuan juga dapat menempuh pendidikan yang tinggi sebagai bekal dalam pengajaran didikan pada anak-anaknya kelak, begitu juga sebaliknya. 

Untuk itu diharapkan kepada kita semua, para kaum laki-laki ataupun perempuan untuk saling mengedukasi satu sama lain agar sama- sama melakukan hak kewajiban maupun tanggung jawab kita masing- masing tanpa menjatuhkan satu pihak manapun dengan berbagai pola pikir yang tidak membangun, sehingga nantinya konsep kesetaraan gender ini akan berjalan dengan baik dan lancar dalam masyarakat, sehingga menimbulkan dampak-dampak baik bagi kehidupan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun