Seto Mulyadi atau yang akrab dipanggil Kak Seto mengatakan bahwa sistem pendidikan yang paling cocok bagi mayoritas anak-anak di Indonesia adalah sekolah formal.
Apakah benar mayoritas anak-anak Indonesia cocok dengan sekolah formal? Bagaimana dengan kesibukan anak yang mungkin tidak bisa dikesampingkan, kesibukan orangtua, minat anak, psikologi anak yang tertekan, dan ketidakcocokan anak terhadap kurikulum yang berlaku di sekolah formal?
Kenyataan yang ada dilapangan yakni anak-anak atau orangtua akhirnya memilih homeschooling. Ya, memang homeschooling ala Indonesia bukan sekolah formal, tetapi bagi saya, perlu kesadaran bahwa walaupun mereka tidak mengikuti sekolah formal bukan berarti kompetensi mereka pasti di bawah anak-anak sekolah formal.
Ketakutan-ketakutan yang dikhawatirkan kebanyakan orangtua biasanya seperti miskinnya pengalaman dan kurang pergaulan tetapi semua itu tetap bisa diatasi kok.
Mungkin yang banyak ditanyakan adalah dengan cara apa mengatasinya? "Homeschooling itu kan dilaksanakan di rumah, kebanyakan sendirian, materinya ya cuma materi pelajaran pada umumnya. Lantas mau penanganan seperti apa untuk mengatasi kekhawatiran orangtua dan ketakutan terhadap kompetensi yang tidak mumpuni?"
Nah, menurut saya homeschooling dengan kombinasi penerapan pendidikan kurikulum entrepreneurship bisa menjadi solusi. Pendidikan kurikulum entrepreneurship pada anak-anak homeschooling bisa menerapkan pendekatan achievement motivation training, character building, leadership dan entrepreneurship, metode project based learning dan experiental learning.
Homeschooling juga memiliki pendekatan yang bisa dicocokkan dalam bidang kompetensi akademik yakni pengajaran sesuai kemampuan atau sensitive learning dan style learning sekaligus bisa menjadi terapi bagi anak yang mengalami school refusal dalam arti sekolah formal.
Dengan pendekatan yang sesuai dengan gaya belajar dan kemampuan anak, bagi saya tentunya tidak menutup kemungkinan bahwa kompetensi anak homeschooling bisa sama atau bahkan melebihi anak-anak sekolah formal. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan oleh Imay Ifdlal Fahmy tahun 2013 menunjukkan bahwa nilai rata-rata akhir siswa homeschooling dalam pelajaran bahasa Indonesia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sekolah formal.
Dalam penerapan kurikulum entrepreneurship untuk anak homeschooling, anak-anak atau orangtua bisa memilih untuk mendapatkan project based learning dan experiental learning.
Menurut saya, dengan hal ini anak-anak bisa memiliki pengalaman yang banyak mengenai projeknya dan bukan hanya dari teori saja. Anak-anak bisa menyampaikan masalah yang ingin diselesaikan dalam bisnis kepada orang lain dan memiliki pengalaman kegagalan maupun keberhasilan saat mengeksekusi, seperti pengalaman merancang produk dan menjual produk.
Dengan demikian, anak-anak justru mendapat pengalaman keterampilan berjualan dan berinteraksi dengan banyak orang, bukan hanya kepada teman sebaya tetapi justru orang-orang yang lebih expert dan masyarakat secara luas.
Lantas, bagi para orangtua masih perlukah memiliki ketakutan-ketakutan karena anak-anak memilih homeschooling?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H