Mohon tunggu...
H K
H K Mohon Tunggu... profesional -

penikmat alam - pembaca - penggila futsal - sedang belajar menulis - penggemar bahasa prancis ..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Simbolik di Sekolah

21 Agustus 2012   02:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:30 3026
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa mitos yang diyakini kebenarannya oleh khalayak umum bahwa dengan berseragam akan tercipta rasa persatuan dan kesatuan di antara para siswa, membentuk kerapian, menampakkan keindahan, dan menciptakan kedisiplinan siswa. Dan jika seragam dihapuskan akan tercipta gap yang besar antara yang miskin dan yang kaya.

Sebuah pemikiran yang keliru. Bukankah kerapian, keindahan, dan disiplin dapat juga tercipta dengan menggunakan baju bebas? Dan bukankah tujuan kita sekolah adalah untuk sadar akan keadaan diri kita sendiri dan mengetahui realitas yang ada di masyarakat, bahwa ada yang miskin dan ada yang kaya, bahwa perbedaan itu pasti ada dan itu hal yang lazim terjadi dalam suatu masyarakat yang majemuk, dan bahwa kita harus menghargai segala perbedaan yang ada.

Lihat apa yang Tan Malaka lakukan waktu dia mendirikan sekolahnya. Dia tidak ingin ada tukang kebun di sekolahnya karena dia ingin anak-anak sekolah belajar bagaimana menjadi rakyat sebenarnya (rakyat yang masih dalam ketertindasan).

Jadi program penghapusan seragam harus didukung karena sudah tidak berguna lagi, karena hal tersebut telah membuat anak tidak menyadari dirinya sendiri. Seragam hanya digunakan untuk memotong akses bagi orang miskin mendapatkan pendidikannya. Seragam telah menjadi salah satu kekerasan simbolik yang menjadikan murid sebagai korbannya.

2. Dominasi yang dilakukan guru

2.1 Hukuman

Guru, sadar atau tanpa disadari, merupakan salah satu pelaku kekerasan simbolik di sekolah.

Seperti saya pernah utarakan kalau sebagian besar dari tulisan ini merupakan pengalaman saya sebagai pelajar, maka saya ingin memberikan satu kisah lagi yang sampai saat ini masih saya ingat.

Saya, dulu dan masih sampai sekarang, dikenal sebagai orang yang tidak bisa diam, baik mulut maupun tangan dan kaki selalu ingin bergerak. Untuk ukuran guru, saya mungkin dianggap sebagai anak yang nakal dan selalu mengganggu saat jam pelajaran dan tak jarang saya dihukum untuk itu. Pernah saya dihukum karena tidak mengerjakan PR atau mengobrol di kelas. Saya disuruh untuk menulis: “Saya berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi” di kertas sebanyak empat halaman lalu harus ditandatangani oleh orang tua saya. Untung bagi saya karena saya hanya disuruh menulis di atas kertas. Teman saya pernah disuruh melakukan hal yang sama hanya saja dia harus rela melakukannya di depan kelas, di papan tulis.

Ada juga teman saya yang harus rela berdiri di depan kelas dengan tangan kanan memegang telinga kiri dan ditambah berdiri dengan satu kaki sampai jam pelajaran habis hanya karena tidak mengerjakan PR.

Pernah juga teman-teman saya disuruh untuk berlari keliling lapangan dan ada juga yang disuruh untuk menghormat ke arah bendera merah-putih selama satu jam karena melakukan kesalahan (terlambat atau tidak memakai seragam dengan lengkap) saat upacara bendera. Hukuman tersebut dilakukan setelah upacara bendera, di bawah teriknya sinar matahari, di tengah lapangan upacara dan disaksikan oleh ratusan murid lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun