Jika ada yang bertanya "Kamu kuliah apa?", dan jika kita menjawab "Saya kuliah kedokteran, Tante," maka percayalah, orang itu akan memperlakukan kita dengan cara yang berbeda. Ya, tidak salah memang, karena sekolah kedokteran memiliki nilai prestis yang cukup tinggi. Namun, tahukah Saudara bagaimana tahapannya sampai bisa menjadi dokter 'sepenuhnya'?
Jika seseorang sudah mantap menentukan pilihannya pada fakultas kedokteran, biasanya pada saat menginjak kelas 3 SMA, ia sudah melakukan rencana persiapan untuk tes masuk perguruan tinggi (baik itu perguruan tinggi negeri ataupun swasta). Biasanya anak-anak SMA yang b'berambisi mulia' menjadi dokter ini akan mengikuti bimbingan-bimbingan belajar, terutama jika mereka sedang bersiap untuk bertempur memperebutkan kursi di universitas negeri.
Setelah bertempur dan dinyatakan diterima, maka mereka akan kuliah sama halnya dengan teman-temannya di jurusan lain. Mereka belum langsung fokus mempelajari penyakit; mereka belajar dasar-dasar sains tubuh manusia, seperti ilmu anatomi, biokimia, fisiologi (cara kerja tubuh manusia sehat), dan lain-lain. Lama-kelamaan baru mereka akan mulai mempelajari tubuh manusia yang sakit. Setelah kurang lebih 7 semester mereka kuliah, jika lulus semua, maka mereka akan diyudisium sebagai seorang Sarjana Kedokteran (S.Ked). Hampir selalu terjadi, di mana seorang S.Ked memajang foto dirinya mengenakan toga hijau di media sosial, maka akan banyak sekali teman-temannya di jurusan lain yang akan berkata "Wah, sudah lulus jadi dokter, ya?" Maka sang sarjana tersebut mau tidak mau harus menjelaskan bahwa dirinya baru sarjana kedokteran, bukan dokter (pengalaman pribadi).
Pada tahapan ini, sang sarjana tesebut bisa memilih akan menjadi dokter atau mengambil bidang lain non-profesi dokter, seperti peneliti. Tapi 99,99% akan melanjutkan diri ke program profesi dokter yang membutuhkan waktu 90 minggu-2 tahun di rumah sakit (kepaniteraan klinik). Pelajaran yang biasanya didapat di ruang kuliah berpindah ke rumah sakit; dari yang diajar dosen berganti menjadi diajar dokter spesialis sambil melihat pasien sesungguhnya. Di sana, mahasiswa kedokteran tersebut disebut sebagai "koasisten dokter" ("koas"). Di tahapan inilah sebagian besar memori manis-asam-pahit seorang mahasiswa kedokteran akan tergurat. Mulai dari menghadapi teman sesama koas yang 'pato' (patologis, begitu egois hingga merugikan koas lain), dokter spesialis yang galak, perawat yang kadang membangkitkan emosi, hingga kenangan jaga malam yang tak terlupakan. Dan pertanyaan klasik yang dihadapi oleh seorang koas dari keluarga atau kerabatnya adalah "Kapan kamu lulus dokternya?". Ketika teman-teman dari jurusan yang lain sudah bekerja atau bahkan mengambil program pasca sarjana, namun sang calon dokter itu masih dengan tekunnya 'kuliah'.
Setelah selesai kepaniteraan, dan jika semua kepaniteraan lulus dilewati, maka ia akan menghadapi ujian terakhir sebelum mendapat gelar dokter (akhirnya gelar dua huruf itu didapat juga)*. Ujian itu disebut Ujian Kompetensi Dokter Indonesia (UKDI), yang terdiri dari dua komponen; teori dan praktek. Banyak orang yang berpikir bahwa UKDI ini hanyalah formalitas dan pasti lulus. Melalui tulisan ini, saya ingin menyatakan bahwa pandangan tersebut luar biasa benar-benar sangat salah sekali, karena faktanya ada yang tidak lulus UKDI. Dan yang menarik, karena ada permintaan ada penawaran, untuk persiapan UKDI inipun ada tempat bimbingan belajarnya.
Saat-saat menunggu hasil UKDI adalah saat-saat yang menggalaukan; harus siap untuk kemungkinan yang terburuk. Jika dinyatakan lulus, maka silakan bersiap untuk mengikuti acara Sumpah Dokter. Jika tidak lulus, maka mahasiswa tersebut harus megikuti UKDI periode berikutnnya (ada empat kali UKDI dalam setahun).
Setelah disumpah dan menjadi resmi menjadi dokter yang tersumpah, bukan berarti bebas praktek di mana saja. Masih ada tahapan terakhir, yakni menjalani program magang (internship) selama satu tahun di daerah-daerah pelosok yang ditentukan Departemen Kesehatan degan gaji Rp1.200.000 per bulan yang dirapel tiap tiga bulan (sekarang dikaabarkan sudah naik menjadi Rp2.500.000). Itu artinya, cita-cita mulia untuk membalas pengorbanan orang tua harus tertunda satu tahun. Namun tak apalah, marilah kita berpikir positif (atau sekedar menghibur diri?), orang tua pasti mengerti kalau untuk menjadi dokter itu membutuhkan waktu yang lama.
*Ada yang mengatakan bahwa gelar dokter didapat ketika selesai kepaniteraan, tanpa tergantung lulus-tidaknya UKDI
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H