Mohon tunggu...
Kristian Wongso
Kristian Wongso Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Ilmu Kriminologi

Pembelajar Ilmu Kriminologi, Dokter Anak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Perbedaan Agama Membuat Abdullah Lupa ISIS dan Lukas Lupa Gaza

16 Agustus 2014   02:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:26 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya memiliki seorang teman. Sebut saja Abdullah. Ia sering memperbarui status media sosialnya dengan ajakan untuk mendoakan korban pertikaian yang ada di Gaza sana. Ia menyebut para korban dengan sebutan “saudara-saudara”. Ia juga sering menyertakan tautan berita teranyar perkembangan di sana. Saya kagum akan rasa kekeluargaannya. Namun, perasaan kagum saya harus berkurang karena ia kemudian, melalui media sosialnya juga, mengajak teman-temannya untuk mendoakan agar tentara Israel banyak yang terbunuh dan dilaknat Yang Mahakuasa. Rasa kagum saya terpaksapun benar-benar hilang setelah ia menyebut-nyebut agama Abrahamik lainnya sebagai sekutu Israel tanpa disertai alasan kuat. Mungkin ia terlalu banyak membaca tentang teori konspirasi. Kasus pertempuran Gaza ini sebenarnya hal yang kontroversial. Kebanyakan orang di negeri ini terbakar amarahnya saat mendengar pemberitaan media mengenai kekejaman tentara Israel yang menyerang warga sipil, yang sebagian besar anak-anak dan perempuan, di jalur Gaza. Foto-foto anak-anak yang berlumuran darahpun marak tersebar di media sosial, sambil disertai kata-kata serapah dan kutuk banyak orang. Namun, sebagian orang tidak merasa sesimpatik mereka. Kelompok yang terakhir ini menilai bahwa ribuan jiwa yang melayang sia-sia di Gaza ini adalah akibat kesalahan Hamas. Beberapa hari sebelumnya, Hamas meroket Israel. Hamas meroket tidak hanya sekali, namun beberapa kali. Israel masih diam saja. Namun, akhirnya Israel membalas dan pastinya, menimbulkan banyak korban jiwa di jalur Gaza. Momen inilah, yang kata mereka, dieksploitasi hebat oleh media, sehingga terkesan Israel menyerang pemukiman sipil tanpa ada penyebab. Belum lagi dengan tuduhan bahwa Hamas bersembunyi di kawasan sipil, agar menarik simpati warga internasional jika korban sipil banyak berjatuhan. Beda halnya dengan, sebut saja Lukas. Lukas tidak berbeda jauh dengan Abdullah. Lukas sering memperbarui status media sosialnya dengan ajakan agar semua teman-temannya mendoakan orang Kristen yang sedang dianiaya oleh ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Tapi yang menariknya, Lukas sama sekali tidak pernah menyinggung kasus Gaza. Hanya kasus ISIS yang dibicarakan. Kasus penganiayaan oleh ISIS pun sebenarnya tak luput dari kontroversi. Ada yang menuduh bahwa ISIS adalah hasil bentukan Amerika Serikat dan Israel untuk memporak-porandakan dunia Islam. Sebagian lagi menilai penganiayaan orang Kristen oleh ISIS sebagai tragedi murni kekerasan beragama yang sangat memilukan. Saya tidak peduli apa penyebab terjadinya kasus Gaza dan ISIS. Saya tidak tertarik untuk mendalami argumentasi kedua kubu. Ada satu hal menarik yang lebih menarik perhatian saya, ketimbang apa penyebab terjadinya kedua peristiwa itu. Dua kejadian pertumpahan darah yang terjadi hampir bersamaan ini membuat saya sadar akan sesuatu yang buruk sedang terjadi. Inilah saat di mana nilai kemanusiaan dipengaruhi oleh agama seseorang. Abdullah, karena ia seorang Muslim, ia mendukung Palestina, namun ia diam seribu bahasa oleh kekerasaan yang dilakukan ISIS. Lukas, seorang Kristen religius, tidak bergeming soal korban jiwa di Palestina. Padahal mustahil untuk orang di zaman sekarang ini tidak mengetahui tragedi Gaza dan ISIS. Apa yang sedang terjadi? Ada apa dengan rasa kemanusiaan kita? Tidakkah naluri kemanusiaan kita terusik walau sedikit? Keberpihakan berarti perbedaan perlakuan, yang identik dengan tindak diskriminasi. Keberpihakan atas dasar agama bukanlah hal yang baru di negeri ini. Sebut saja kasus Ahok. Agamanya yang bukan agama mayoritas sempat dijadikan alasan sejumlah orang untuk mengajak massa agar tidak memilihnya menjadi pemimpin DKI Jakarta. Keberpihakan berdasar agama adalah hal yang nyata dan terjadi di bumi “Bhinneka Tunggal Ika” ini. Jika kita telisik lebih personal, sepertinya orang memang lebih cenderung untuk memilih figur yang memiliki kesamaan dengannya. Ketika ada ajang menyanyi, tak mengherankan bila sang finalis dengan bangga mengajak semua penonton yang berasal dari daerah asalnya untuk memilihnya. Bahkan tak jarang, ia akan menyebutkan sejarah hidupnya yang sempat tinggal di banyak daerah untuk menggaet pendukung yang tinggal di daerah-daerah tersebut. Selain daerah asal, kesamaan yang dimiliki bisa dari macam-macam aspek, misalkan suku, ras, dan tentunya agama. Kesamaan inilah yang akan 'dijual' untuk membuat seseorang cenderung memilih atau berpihak kepadanya. Andaikan, X beragama A, dan ia diperhadapkan untuk memilih antara Y atau Z yang memiliki kemampuan dan kecakapan yang sama, namun berbeda agamanya, misalkan Y beragama A dan Z beragama B, maka X akan cenderung untuk memilih Y. Mengapa kita tidak sejenak mengesampingkan subjektivitas ini dan membiarkan pikiran kita bekerja lebih keras untuk berpikir secara lebih objektif? Cobalah melihat orang lain sebagai manusia yang bernilai sama dengan kita. Jangan remehkan orang lain hanya karena ia berbeda keyakinan dengan kita. Baiklah, anggaplah sah-sah saja untuk mengharuskan diri memilih yang seagama sebagai pemimpin. Namun, apakah kita sampai hati menutup mata terhadap mereka yang hidupnya sedang terancam, hanya karena mereka berbeda agama dengan kita? Jangankan hidup besok, merekapun tidak yakin apakah bisa hidup hari ini. Jangan anggap bahwa manusia yang perlu dibela kemanusiaannya adalah mereka yang sekeyakinan dengan kita. Janganlah seperti Abdullah yang membutakan mata terhadap korban kekerasan ISIS. Jangan pula seperti Lukas yang menulikan telinga terhadap jeritan anak-anak dan perempuan di jalur Gaza. Jika kita menganggap semua orang sama nilainya, tak peduli apa keyakinan mereka, maka kita semua akan seiya sehati untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan agung yang universal itu. Mari kita dambakan dunia yang penduduknya saling menghargai dan saling menolong tanpa memandang label agama. Dunia yang penduduknya bertanya “Kamu kesulitan apa? Aku mau membantu,” bukannya malah melontarkan pertanyaan pertama “Agamamu apa?” Tak ada yang lebih tragis daripada saat di mana kita berpura-pura tidak tahu terhadap mereka yang teraniaya, hanya karena mereka berbeda akidah dengan kita, dan jeritan sesama kita besar-besarkan agar seantero jagat tahu, hanya karena mereka memiliki kredo yang sama dengan kita. Mari berharap dan berdoa agar naluri kemanusiaan kita tidak mengalami kemunduran lebih jauh. Semoga lebih banyak orang yang memperhatikan sesamanya tanpa mempedulikan apa agamanya. Amin. Sumber gambar: http://article.wn.com/view/2014/08/04/UN_warns_of_tragedy_as_militants_seize_Iraq_towns/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun