Kita tentu pernah mendengar satu pepatah bahwa siapa yang menabur, maka dia pula yang akan menuainya. Pepatah itu kemudian kita kenal pula dengan istilah “hukum tabur tuai”. Seringkali dalam memahami pepatah ini, kita menjalaninya dalam kekeliruan interpretasi.
Banyak diantara kita memahami pepatah ini dengan interpretasi, “barangsiapa menolong orang lain, maka orang yang menolong tersebut akan mendapatkan kebaikan pula sebagai balasannya”.
Dengan demikian, interpretasi ini membuat kita memiliki pandangan bahwa, “setelah kebaikan dilakukan, balasan atasnya adalah suatu keharusan dan menjadi hak dari yang berbuat baik”.
Oleh karena itu, tidak dipungkiri bahwa kita seringkali “menuntut balasan” dan “menjadi kecewa” apabila tidak mendapatkan balasan kebaikannya.
Kekecewaan ini pula yang membuat banyak insan dengan interpretasi diatas untuk ragu, bahkan berhenti untuk mempercayainya. Sungguh jumlah insan yang “kecewa” ini tidaklah sedikit, dan mungkin saja kita adalah salah satu insan yang turut mengalami “kekecewaan” ini pula.
Rasa kecewa merupakan rasa yang tentu dimiliki oleh setiap manusia, tetapi apakah kita pantas untuk “kecewa” apabila kebaikan yang diberi tidak berbalas kebaikan pula?
Pertanyaan ini apabila direnungi dengan menggunakan nurani, ada dua jawaban yang bisa kita dapatkan. Jawaban yang pertama adalah bahwa itu adalah sesuatu hal yang manusiawi, sedangkan jawaban kedua adalah rasa “kecewa” karena kebaikan yang diberikan tidak berbalas adalah hal yang miris lagi menyedihkan.
Mengapa saya katakan bahwa rasa “kecewa” ini adalah manusiawi? Hal ini tidak lain dikarenakan sifat dasar manusia adalah “mengharapkan timbal balik” dari setiap perbuatan yang dilakukannya. Oleh karenanya tidak dapat dipungkiri bahwa rasa “kecewa” karena tidak mendapatkan hasil dari perbuatan sebelumnya adalah karena manusia seringkali dipengaruhi oleh sifat dasar tersebut.
Selain rasa “kecewa” itu adalah hal yang “manusiawi”, rasa “kecewa” yang sama merupakan hal yang miris dan menyedihkan. Miris ketika kita mengetahui bahwa orang yang kita tolong adalah orang yang dirundung rasa kedukaan dan penderitaan, justru kita berharap mereka membalas kebaikan kita. Dengan mengharapkan adanya balasan saja, pamrih itu sudah menyelimuti niat menolong yang kita berikan.
Menjadi hal yang menyedihkan pula di satu sisi ketika kita “menuntut” orang lain atau siapa pun untuk membalas kebaikan kita di saat apa yang kita berikan adalah titipan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Kita dengan ini sudah memberikan “harga” dari setiap pertolongan yang kita berikan dan dengan ini pula telah memberikan “nilai” terhadap setiap titipan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Mari sejenak kita untuk dapat memandang lukisan cakrawala di kala siang saat matahari memberikan sinarnya untuk kehidupan setiap makhluk hidup di dunia, begitu juga saat malam ketika bulan serta bintang-bintang menjadi “lampu yang menerangi” malam setiap insan.