Novel tertawa ngakak mendengar kalimat terakhir yang di ucapkan ibu hakim. Kemana aja ya selama ini kok bisa ngk tahu. Apa karena efek kebanyakan tidur saat jam kerja? Padahal sudah banyak kali menggunakan jasa ekspedisi tersebut kok diam saja? Ketika ada kendala dan juga baru pertama kalinya terhambat baru dech mencari tahu. Sudah gitu bukannya membantu memberi solusi malah mencuci tangan. Hiksss.... dimana letak urat malu itu ya?
"Lho yang mulia untuk pengiriman barang sudah saya mencari solusi dengan mengalihkan ke ekspedisi lainnya."
"Tidak. Itu hanya sekedar saja." Sambar yang mulia ibu hakim. Kemudian lanjutnya. "Dari semua kasus kelalaianmu, sanksi yang di berikan adalah SP1." Katanya sembari menarik keluar sebuah lembar penghakiman dari dalam amplop coklat.
"Banding yang mulia ibu hakim. Saya keberatan atas sanksi tersebut karena murni kelalaian saya hanya tidak ikut meeting bulanan sebagai agenda rutin. Kalau kelalaian lain seperti masalah ekspedisi itu bukan murni kesalahan saya saja."
"Tidak bisa di banding sdr. Novel. Ini sudah paten. Hasil keputusan dari ibu Rebecca seperti itu. Saya tidak tahu urusan seperti ini. Saya hanya menjalankan saja."
Novel tidak lagi beragumen. Ia tak kuasa menahan tawa geli mendengar ucapan ibu hakim. Sungguh sebuah keputusan sanksi yang tidak jelas. Novel akhirnya memutuskan untuk menanda tangani lembaran tersebut tanpa membaca isi surat tersebut. Ia ingin cepat - cepat keluar dari ruangan persidangan tersebut. Apalagi melihat kedua bola mata ibu hakim seperti menahan beban air mata setiap kali argumennya terbantahkan. Sungguh tak tega
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H