Mohon tunggu...
Tiano Garman
Tiano Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Melodi Anak Lewotobi

7 November 2024   19:09 Diperbarui: 7 November 2024   19:17 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Pandagannya selalu kosong. Hampa tanpa makna. Semua sia-sia. Gerimis mengalir dari matanya. Rupanya ia menangis. Bukan. Ia sedang merunut duka di sudut matanya. Ia tinggal dalam sepi. Senyumnya belum sempat runut sempurna, tiba-tiba duka di depan mata. Apakah ini takdir? Apakah eksistensi Tuhan masih dipercaya ketika badai menerpa? Entahlah, ini bukan tentang Dia, melainkan mereka yang telah menghadap-Nya dengan cara paling sempurna tanpa penderitaan. Mereka pergi dengan sempurna, tetapi di sini tersiksa rindu di setiap subuh dan senja. Sekilah dialognya. Ia berdiskusi dengan dia yang selalu tersembunyi dalam dirinya.

Sendiri ia menun rindu di atas tumpukan kisah-kisah yang lebih kejam daripada derita. Ini bukan sekedar duka melainkan lebih dari duka itu sendiri. Apa itu? Entahlah! Riko adalah nama yang selalu setia merunut rindu di ujung senja.  Kini, ia harus menemani hari dengan sepi setelah kedua orang tuanya telah pergi dengan letusan gunung semalam. Mereka pergi sebelum mimpi di sepertiga malam tercipta. Mereka terkubur di bawah lumpur yang ganas. Mereka pulang kepada dia, tetapi sayang waktunya belum untukku, mungkin tiba bagi mereka. Kematian itu nyata dan tiba-tiba. Ia penuh teka-teki. 

Riko masih merunut puisinya. Ia belum menerima kepergian semua anggota keluarganya. Dalam gelisah ia meragukan eksistensi Tuhan sebagai sosok yang selalu baik. Ketika ia sedang meragukan Tuhannya, ia melihat hujan deras turun dari mata semua warga. Mereka menghantar keluarga mereka dengan nyanyian sastra yang tak pernah usang di ujung hari. Selain keluarga yang lenyap, rumah tempat mereka berteduh hangus di telan lava yang ganas. Mereka hidup di tempat antah berantah. Mereka bingung, kemana perahu hidup mereka akan dayung. Sedang gelombang laut masih mengamuk. Dalam hati mereka menulis surat kepada Tuhan, selesaikanlah semua Tuhan agar tidak ada duka lagi di sini, di tempat ini.

Lewotobi dalam puisi

Lewotobi adalah duka para pujangga Tuhan

Marilah bersolidaritas

untuk mereka yang tertindas oleg ganasnya dunia

mari menjulurkan kasih dan menyalurkan nafas bagi mereka yang di ujung duka

Maumere, 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun