Mohon tunggu...
Tiano Garman
Tiano Garman Mohon Tunggu... Mahasiswa

Pecinta Kebijaksanaan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Implikasi Kritisisme Publik Bagi Demokrasi di Indonesia

4 November 2024   21:17 Diperbarui: 4 November 2024   21:17 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 sumber gambar: Pasundanekspres.co

Implikasi Kritisisme Publik Bagi Perkembangan Demokrasi di Indonesia

Oleh: Kristianus Garman

Pendahuluan

Bagaimana keadaan demokrasi di Indonesia saat ini? Pertanyaan ini merupakan sebuah pergulatan akademis yang selalu membutuhkan jawaban bukan sekedar untuk kepuasan intelektual semata, melainkan sebuah pertanyaan yang didasarkan sebuah keprihatinan atas realitas demokrasi itu sendiri. Selain sebagai pertanyaan yang bersifat informatif, tetapi juga sebuah pertanyaan tentang apa sejatinya demokrasi itu sendiri. Namun sebelum memahami demokrasi itu sendiri dan bagaimana peran sikap kritis sebagai penjamin mutu demokrasi, penulis akan mengurai persoalan sekitar demokrasi di Indonesia di bawah payung kepemimpinan Jokowi.

Realitas Demokrasi Era Jokowi

            Dalam artikel Fajar Wahyu Prasetya dijelaskan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Dalam analisisnya, ia menemukan bahwa ada perbedaan indeks demokrasi era presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan presiden Jokowi. Menurut sumber yang dikutip Fajar, demokrasi era SBY dikenal dengan demokrasi yang indeksnya stagnan dan demokrasi era Jokowi cacat. [i]Selanjutnya dampak dari indeks demokrasi ini merambah pada mundurnya indeks demokrasi Indonesia di ranah global. Menurut riset yang dilakukan oleh Economist Intelligence Unit's (EIU) menunjukkan bahwa indeks demokrasi Indonesia di kancah dunia mengalami penurunan dari 54 menjadi 56.[ii] Dari data ini muncul sebuah pertanyaan bahwa mengapa demokrasi itu mundur? Sebenarnya faktor utama kemunduran demokrasi adalah para pemimpin yang dipilih secara demokratis itu sendiri. Pemilu didesain untuk memuaskan kepentingan para oligark dan kroni-kroninya. Jokowi dan kroni-kroninya membentuk sistem pemerintahan dinasti dan oligarki. Hal ini membuat demokrasi itu mati.

            Selanjutnya, pada pemerintahan Jokowi ada beberapa hal yang menjadi indikator untuk menjelaskan bagaimana demokrasi mundur pada masa jabatannya, yaitu "menolak aturan main demokrasi, baik melalui perbuatan maupun dengan kata-kata, menyangkal legitimasi lawan atau oposisi, menunjukkan kesediaan membatasi hak sipil lawan dan juga media."[iii] Penulis mengulas indikator-indikator dengan berbagai peristiwa yang terjadi di seputaran pemilu yang tidak demokratis.

            Pertama, Jokowi tidak mengikuti pola pemilu yang demokratis. Pada tahun 2019 lalu mencuat sebuah wacana untuk membatalkan pemilu 2024. Isu ini dibuat dengan alasan bahwa Indonesia sedang dalam keadaan darurat akibat covid-19. Isu ini pun berkembang sampai pada wacana perpanjangan masa jabatan presiden. Dua isu ini menunjukkan bahwa Jokowi tengah mencoba melakukan pelanggaran terhadap konstitusi. Selanjutnya, pada pemilu 2024, intervensi Jokowi pada lembaga hukum dan birokrasi memuluskan perjalanan anaknya untuk menjadi cawapres pada pilpres 2024. Dengan kekuasaannya, ia menguasai MK mengubah aturan tentang usia calon presiden dan wakil presiden. Selain itu, upaya Jokowi dalam memenangkan anaknya dengan cara melakukan politisasi bansos. Bansos yang semestinya dibagikan kepada Masyarakat sebagai bentuk kewajiban negara, dimanfaatkan oleh Jokowi sebagai media untuk memenangkan anaknya.

            Kedua, mematikan oposisi atau menyangkal oposisi. Pemilu yang demokratis selalu menghadirkan oposisi. Oposisi menjadi bagian integral dari pelaksanaan sebuah pemilu. Namun, dalam kontestasi pemilu 2024 terjadi kematian oposisi. Para oposan dikebiri oleh intervensi yang kebablasan dari Jokowi. Contohnya adalah adanya politik penjegalan. Politik penjegalan ini merupakan sebuah cara agar oposisi tidak bisa bersaing dalam pemilu. Praktik-praktik penjegalan ini pun nampak pada berbagai koalisi yang dijerat oleh kasus hukum sebelum kontestasi dilaksanakan. Contohnya, ketika partai Nasdem mengusung Anies Baswedan untuk menjadi capres 2024 beberapa hari kemudian dua kader dari partai tersebut bermasalah dengan hukum, yaitu Jhoni Plate dan Syahrul Yasin Limpo melakukan korupsi. Dua kader ini merupakan tokoh penting dalam partai Nasdem. Ironisnya adalah dua tokoh ini merupakan menteri dalam kabinet kerja Jokowi. Selain itu, politik penjegalan sangat nampak ketika calon wakil presiden Muhaimin Iskandar mengalami masalah yang sama. Masalah-masalah yang terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya mencuat ke permukaan. Fenomena ini pun membuat elektabilitas dan Tingkat kepercayaan public menurun. Jika ditinjau lebih dalam, fenomena ini tidak terlepas dari pemanfaatan KPK dan lembaga hukum untuk tujuan politik.

            Ketiga, melakukan pembatasan hak sipil lawan dan media atau pers. Persoalan berkaitan pembatasan hak sipil lawan ini berkaitan erat dengan berbagai kebijakan yang membuat pers mati. Berbagai tindakan peretasan terhadap berbagai media merupakan tindakan mematikan kebebasan publik dalam mengawal suatu pemerintahan. Pada kepemimpinan tindakan membatasi pers dan kebebasan publik marak terjadi. Menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur mengatakan bahwa Jokowi kerap kali melakukan intimidasi terhadap media dan menculik para pembela HAM. Selain itu, berbagai tindakan anarkis dilakukan kepada massa yang melakukan demonstrasi terhadap kebijakan-kebijakannya yang kontroversial. Jokowi kerap kali memanfaatkan TNI dan BIN untuk melakukan intimidasi terhadap masyarakat atau pihak yang tidak setuju dengan segala kebijakannya. Isnur menambahkan bahwa dalam melaksanakan pembangunan Jokowi melakukan kekerasan terhadap publik.[iv] Herlambang P. Wiratraman dalam artikelnya menjelaskan bahwa aturan yang berkaitan ITE di Indonesia masih lemah, para pejabat atau penguasa sering menjerat para awak media dan masyarakat dengan pasal pencemaran nama baik. Selanjutnya, Wiratraman menjelaskan bahwa Jokowi melalui menteri KOMINFO membuat aturan pemadaman internet seperti di negara yang otoriter.[v] Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa demokrasi era Jokowi sangatlah buruk.

Implikasi sikap Kritisisme Publik Bagi Demokrasi

            Melihat realitas di atas, apa yang dapat dilakukan? Hal yang dilakukan adalah memberikan kritik atau mengkritisi setiap kebijakan. Dalam tradisi Frankfurt kritik atau sikap kritis bertujuan untuk mengkonstruksi untuk membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.[vi] Dan dalam kritik juga digunakan metode dialektika dengan cara mengkritik tatanan sosial, politik dan ekonomi yang telah keluar dari jalur kesamaan, keadilan dan kedaulatan.[vii] Sebenarnya tradisi kritik ini merupakan bagian dari tradisi filsafat. Sebagai tradisi filsafat kritik bertujuan untuk mencari dasar dan sebab-sebab pertama.  Dengan melihat tujuan kritik di atas, kita dapat memahaminya juga dalam demokrasi. Demokrasi Indonesia yang mengalami kemerosotan, masyarakat diminta untuk membongkar dan menemukan kejahatan yang ada pada pemimpin. Sikap kritik tidak terlepas dari sikap rasionalisme. Rasionalisme merupakan sebuah ajaran yang menekankan rasio manusia untuk menyelidiki kesalahan-kesalahan dalam mencapai kebenaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun