Sekarang Mark sudah menyelesaikan pendidikan SMAnya. Ia pasti bisa menentukan nasibnya sendiri kami hanya mendukungnya dengan sepenuh hati. Menjadi seorang biarawan adalah sebuah impian yang sangat dirindukannya. Biara menjadi pelabuhan terakhir setelah ia terlempar dari ganasnya. Biara menjadi pusat dari segala bahagia dan damai. Di sana ada tenang yang kekal. Rupanya ia tertarik dengan cara hidup kaum berjubah. Jubah putih telah menarik segala tatapan pada matanya. Bahkan seluruh tubuhnya telah dijeratnya. Dan malamnya selalu bermimpi  betapa bahagianya ia mengenakan pakaian putih itu. Kumpulan benang putih itu selalu menyenyakkan setiap ia memejamkan mata.
****
      Di sudut biara kembali ia mengenang tentang kisah yang masih tergenang. Seperti hujan kemarin sore yang basahnya masih bertengger di sudut-sudut daun bunga melati. Pada raut wajahnya tersimpan banyak cerita yang terpendam dalam genggaman waktu. Tampak murung pada wajahnya. Ternyata ia masih berkutat dengan setiap tanya. Tentang eksistensinya yang masih saja tersamar-samar. Sampai saat ini ia belum mengetahui siapa yang mengadakanya selain Tuhan. Rupanya ia cukup lelah untuk menjawab. Ia menonggakkan kepalanya yang dibelenggu oleh cerita nestapa. Ia merasa tersisih oleh kisah itu. Semua orang boleh tertawa dengan wajah bahagia dengan orangtua mereka. Tapi, ia harus menerima kenyataan yang tak pernah terlintas dalam benaknya. Nasibnya sungguh malang. Ia menjadi jalang dari kumpulan yang malang.
      Sudah sekian lama ia duduk di sudut bangunan itu. Matanya mengalirkan sungai. Gelombangnya sangat deras seperti tasik-tasik di negara Timur. Laut pada matanya terus menderu menghasilkan petir yang menyambar hatinya sendiri. Bunyi yang menggelegar dan cahaya kilat menghantam bumi. Tapi, ia terus saja duduk tanpa ingin memindahkan badannya. Ia ingin merasakan deruan alam dan batinnya. Namun, setelah sekian lama ia bertahan tubuhnya tak sanggup menopang dingin dan basah yang membuatnya kuyup oleh karena sing pada gedung tua itu ada yang bolong.
      Ia melipat tangannya di depan dada. Ia memandang dengan kegamangan yang mendalam. Ia sungguh tragis dan sadis karena telah lahir dengan tiada wajah yang mengada. Setelah sekian lama ia mulai berbicara. "Tuhan ambilkan saja jiwaku" gumamnya dengan mulut bergetar. Ia telah menyerah pada waktu dan ingin kembali dari mana ia berasal.
      Biara itu tampak sepi. Sepertinya tak ada penghuni. Dari kejauhan seorang ibu yang rupanya telah lama menunggu. Namun, pintu biara itu belum terbuka untuknya. Ia tetap berdiri dan menunggu. Ia harus menunggu untuk sesuatu yang berharga pastinya. Tidak lama kemudian ia memutuskan duduk setelah sekian lama ia berdiri . Rupanya kaki yang menopangnya sudah mulai pegal dan kesal karena telah lama menunggu. Sekali lagi, ia mengetuk pintu. Namun tak ada yang mendengar. Ia tetap sabar. Ia hanya duduk sembari melengak-lengokkan kepalanya melihat taman biara yang begitu indah dan nyaman. Matanya terus mengitari taman kecil itu. Setelah sekian lama ia memandang ia kembali mengetuk lagi pintu itu.
       "Krek...." Suara pintu itu menandakan seseorang yang membukanya. "Selamat sore bu dan selamat datang di tempat ini", sapa seorang pemuda yang perwawkan tinggi itu dengan ramah. "Ayo, silahkan masuk Bu" lanjutnya. Namun ibu itu hanya tersenyum dan tangannya masuk ke saku bajunya dan dikeluarkan sesuatu dari situ. Ia menyodorkan surat kepada orang yang di depannya dan mulutnya berkomat kamit memberikan sesuatu berkaitan surat itu. Mungkin untuk siapa benda itu. Atau dari mana surat itu berasal.Entahlah. Kemudian ibu itu mengambil langkah dan meninggalkan biara itu. Sejenak langkahnya terhenti dan menoleh sebentar pada pintu biara yang sudah tertutup rapih.
      Kembali pada sudut biara. Pemuda yang biasa disapa frater itu duduk bercerita sendiri. Sejenak ia memandang cakrawala siang yang beringas. Kemudian menunduk merenung. Di tangannya terdapat sebuah kertas usang yang mungkin sudah ia baca. Baru kali ini ia tidak menangis. Ia kelihatan tegar dari hari sebelumnya. Apakah ia sudah menang? Gumamku dalam hati. Entahlah.  "Tuhan sudah saatnya  Engkau mengutus pergi", ia bemonolog. "Segala sesuatu aku telah mengetahauinya. Aku telah kau lemparkan ke dunia ini. Kemudian dengan cinta Engkau memanggilku" ia berbicara dengan lantang di hadapan tembok- tembok sepi biara itu. "Terima kasih Kau telah membebaskanku", lanjutnya dengan muka senyum dan mengambil langkah beranjak pergi dari sudut itu. Nama Wanita itu adalah Maria, Ibu Yesus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H