Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ternak Judol di Kementerian Komunikasi dan Digital

6 November 2024   17:22 Diperbarui: 6 November 2024   17:22 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Komdigi tak berhasil memberantas situs-situs judi online. Prestasinya justru nampak dalam wujud yang lain bernama "Markas Satelit." Alih-alih memblokir satelit, pegawai Komdigi justru merekayasa satelit. Markas Satelit ini dibentuk untuk menjaga keberlangsungan organisme mematikan bernama judi online. Menurut pegawai Komdigi: "Situs judol tidak harus dilumpuhkan sepenuhnya. Biarkan 1000 bibit unggul situs judol kita bina!"

Miris sebetulnya. Negeri ini memang banyak anehnya. Ada Ketua KPK yang kesehariannya bertugas sebagai pemusnah koruptor, eh malah ketangkap dugaaan kasus korupsi. Ada Menteri yang kesehariannya bertugas mengamankan dana bantuan sosial, eh malah menjadi pelaku korupsi dana bansos. Ada pegawai Komdigi yang bertugas bersih-bersih situs judi online, eh malah bertindak sebagai pemelihara.

Reputasi Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) di awal kepemimpinan Meutya Hafid memang sangat menantang. Di awal kepemimpinanya, Meutya langsung dihadapkan dengan belasan oknum pegawai Komdigi yang terlibat judi online. Alih-alih memblokir dan bekerja sama dengan tim penegak hukum, para oknum ini justru nekad "mengamankan" ribuan situs judi online untuk kepentingan personal. Di balik Komdigi, situs-situs judi online itu dipupuk, dibekali teknik oleh staf ahli, dan mendapat beckingan.  

Bisnis judi online memang menggiurkan. Di beberapa tempat, kasus pinjaman online yang mencekik individu tertentu telah membuat karakter dan nilai-nilai kemanusiaan kita pudar seketika. Mereka yang terjerat pijaman online saat ini, mayoritas terlibat dalam kerangkeng aktivitas judi online. Mirisnya lagi, mereka yang dibantai dengan iming-iming uang panas dari kegiatan judol ini, berasal dari kalangan masyarakat kecil. Uang hasil ngojek, pijaman koperasi sana-sini, kerja serabutan, hingga ke yang paling ekstrim nekat melakukan pinjaman online, justru dipakai untuk main tebak-tebakan berhadiah secara online.

Mengingat resiko yang begitu besar dan berpotensi membunuh masa depan generasi, upaya pemerantasan pun harus maraton dilakukan. Salah satunya adalah dengan mengandalkan Komdigi sebagai tangan kanan pemerintah untuk memberantas. Harapan besar dari pelimpahan wewenang ke Komdigi ini, tidak lain adalah agar situs-situs judol yang beredar saat ini bisa diblokir tuntas. Komdigi mengamini tugas dan tanggung jawab ini. Menurut pengakuan salah satu tersangka, dari jumlah 5000 situs judol yang diblokir, ada 4000 yang memang diblokir dan ada 1000 yang diberi pupuk agar bisa bermutasi. Mati 4000, tumbuh 1000. jumlah 1000 ini pun dipakai sebagai bibit unggul situs judol.

Apa yang disampaikan salah satu oknum pegawai Komdigi ini tidak serta-merta kita percaya. Kita mungkin bisa mengira-ngira bahwa jumlah situs judol di Indonesia saat ini tidak hanya berkisar 5000 situs. Bisa jadi ada 100.000 situs judol atau bahkan lebih yang beropreasi dan hanya 4000 yang dengan sepenuh hati diblokir. Upaya pemblokiran di sini, bisa jadi karena agen-agen situs judol tersebut menolak untuk bekerja sama atau memang situs-situs tersebut tidak terlalu bergairah secara finansial jika dipelihara. Untuk itu, pegawai Komdigi menyeleksi sendiri, mana-mana agen dan situs yang bisa kooperatif dan mana-mana agen situs judol yang punya pengaruh besar secara finansial. Kalkulasinya boleh jadi seperti itu.

Saya katakan demikian mengingat bonus dari dari upaya "pembiaran" dan "pembibitan" situs judol ini beromzet fantastis. Dari pengakuan salah satu karyawan Komdigi, satu situs judol yang diamankan memperoleh laba Rp 8,5 juta. Kita bisa bayangkan jika 1000 situs yang dipelihara, maka ada Rp 8,5 miliar yang didapatkan setiap kali transaksi. Kejahatan digital ini hemat saya bukan perkara main-main. Di balik semua ini, pasti ada ikan besar atau otak operator yang memberi izin. Logikanya, tidak mungkin izin operasi 1000 situs yang dipelihara oleh oknum karyawan Komdigi tanpa sepengetahuan atasan. Apakah tak ada laporan, evaluasi atau semacam audit progres pemberantasan situs ini yang tidak dibicarakan dengan atasan di lingkup Komdigi?

Karyawan setingkat Eselon I pasti membutuhkan beckingan kuat agar situs-situs yang dipelihara bisa beroperasi dengan baik. Tanpa "kode pengaman" dari mereka yang memiliki "taring kuasa" lebih kuat, mustahil situs-situs judol bakal beroperasi dengan lancar. Jika ekor dan sirip-siripnya bisa ditangkap, kenapa kepala dan master main-nya tak bisa diungkap. Saya yakin, ada oknum pejabat tertentu yang memang bermain dan berjuang memilihara ternak judol. Menteri Komdigi (dulu Kominfo) Budi Arie yang sebelumnya menjabat, hemat saya, perlu diperiksa juga. Tanggung jawab besar Komdigi sebelumnya ada di tangan Budi Arie selaku Menteri saat itu. Setidaknya dipanggil dan diperiksa. Soal terbukti atau tidak, itu urusan lain. Ini bagian dari tanggung jawab dan profesionalisme kepemimpinan.

Lalu, apa yang perlu dilakukan? Pertama, penegak hukum perlu menelusuri lebih lanjut siapa becking atau otak di balik penyemaian situs judol. Upaya pengusutan tidak boleh hanya berhenti di pegawai yang terciduk. Master main-nya harus diungkap. Kedua, pihak Komdigi sendiri perlu mengaudit seluruh pegawai Komdigi sebagai bentuk keseriusan institusi dalam bekerja. Jangan sampai, masih ada bibit-bibit lain yang sengaja dipelihara. Ketiga, Komdigi dan penegak hukum (Kepolisian) harus transparan memperlihatkan daftar situs judol yang ada (berapa jumlah situs judol, berapa yang sudah diblokir, dan berapa yang masih dipelihara). Keempat, pelaku judol dan karyawan yang ditangkap harus diadili dan dihukum -- jangan hanya dimutasi atau dipecat dari jabatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun