Retret para Menteri besutan Kabinet Prabowo-Gibran hingga hari ini, Kamis (17/10/2024) masih berlangsung di Pondok Garuda Yaksa, Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Retret calon menteri ini sejatinya membicarakan persiapan taktik dan zig-zag teknis terkait postur Kabinet Prabowo-Gibran lima tahun ke depan. Tiga tema besar yang akan digempur hari ini, antara lain terkait Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence), Komunikasi, dan Lapangan Kerja Masa Depan.
Kali ini, saya sejatinya tidak akan membahas mengenai tema yang akan dijadikan pundi-pundi perjalanan para menteri selama lima tahun ke depan. Hal yang justru saya soroti adalah jumlah pemain dalam kabinet ini, yang mencapai angka 100 orang (akumulasi 50 menteri plus wakil menteri). Angka ini, bukanlah angka yang kecil.Â
Dengan kekuatan mekanisme sistem pemerintahan Presidensial, jumlah 100 anggota kabinet justru bakal menguras banyak biaya. Perubahan nomenklatur demi alasan akomodatif -- dalam bahasa Presiden terpilih Prabowo Subianto sebagai upaya "merangkul semua" -- justru menjadi catatan krusial di masa pemerintahan yang akan datang.
Secara matematis, kalkulasi 100 anggota kabinet (Menteri dan Wakil Menteri) tidak terlalu efisien untuk sebuah negara dengan sistem pemerintahan Presidensial. Jika menilik ke belakang, pasca tumbangnya rezim Orde Baru, jumlah kabinet di setiap kementerian biasanya hanya menyentuh angka 30-an. Misalnya, era Presiden Abdurrahman Wahid, hanya ada 35 kementerian.Â
Sedangkan di era Presiden Megawati Soekarnoputri hanya 30 kementerian. Di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama dua periode memimpin, jumlahnya sedikit bertambah menjadi 34 kementerian. Jumlah ini kemudian dipertahankan oleh Presiden Joko Widodo hingga 2024, dengan jumlah 34 kementerian.
Sejarah pernah mencatat bahwa Indonesia pernah memiliki Kabinet Gendut dengan nama Kabinet Dwikora II era Presiden Soekarno. Kabinet ini terdiri dari 132 pejabat menteri dan pembantu Presiden setingkat menteri. Pembentukan 100 Kabinet di era Soekarno ini pada intinya menjawab suatu tantangan besar kala itu, yakni gempuran Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia (PKI).Â
Kala itu demonstrasi besar-besaran menuntut agar Soekarno membubarkan PKI, membersihkan kabinet dari unsur-unsur G-30-S/PKI, dan permintaan untuk menurunkan harga serta perbaikan ekonomi nasional (Tritura). Konteks inilah yang kemudian dipakai Soekarno untuk kembali menyatukan semua elemen bangsa dan negara, yakni mencetus Kabinet Gendut dengan nama Kabinet Seratus Menteri.
Jika ditarik ke situasi sekarang, latar belakang dengan tesis yang sama berusaha diilustrasikan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto. Negara Indonesia yang begitu besar, menurut Prabowo, memungkinkan kita untuk merangkul semua elemen bangsa untuk bekerja sama.Â
Dalam hal ini, Prabowo berusaha memperlihatkan bahwa postur negara yang begitu luas justru menjadi sebuah tantangan bagi pemerintahannya ke depan. Alhasil, Kabinet Gemuk pun dibentuk. Padahal, jika direfleksikan secara mendalam, postur Indonesia yang gemoy, seharusnya menjadi kekuatan besar bagi sebuah bangsa menghadapi masa depan. Tantangannya justru terletak pada efektivitas tata kelola birokrasi dan efisiensi penggunaan anggaran negara.
Tantangan besar Prabowo saat ini, yang pertama justru terkait bagaimana mengelola bujet rumah tangga negara sesuai kebutuhan dan meminimalisir hutang yang semakin menyandera bangsa. Menurut data April 2024, utang pemerintah pusat sudah menyentuh angka Rp 8.338,43 triliun. Angka ini mungkin bukan hitungan keseluruhan hutang yang ada saat ini, tidak termasuk hutang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan aktivitas transaksi lain yang belum diakumulasi keseluruhannya. Inilah tantangan Prabowo sebenarnya ke depan.Â