Cak Imin terus dikepung. Ia kejar. Ia dipanggil ke sana ke mari. Semakin dikejar, Cak Imin semakin mendekat. Namanya top di kolom pencarian. Di kolom pencarian KPK pun, nama Cak Imin dicetak tebal.
Bak mengorek luka lama, KPK kembali membuka perban yang konon dipakai untuk menutup "borok" di tubuh bacawapres Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Pihak yang mengorek luka lama dalam perban waktu yang cukup panjang ini -- sejak tahun 2012 -- hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Intinya, pasca dideklarasikan sebagai bacawapres pendamping bacapres Anies Baswedan, Cak Imin benar-benar dibikin super sibuk. Jika dimungkinkan, luka lama yang telah mengering sejak 2012 silam, dikorek kembali agar citra dan jalan Cak Imin sekiranya terseok-seok menuju tanggal pendaftaran. Mungkin goal-nya demikian. Mungkin.
Dari semua jejak kemelut yang dikelola di branda tontonan publik, saya justru merasa tersentuh meski kadang sedih juga ketika melihat sosok Cak Imin. Hemat saya, Cak Imin itu, orangnya santai, tapi serius; gaya bicaranya "blak-blakan," murah senyum, dan apa adanya. Sejak dideklarasikan menjadi bacawapres, raut muka Cak Imin memang tak pernah absen dari rasa gembira. Sosok Cak Imin kurang lebih memperlihatkan ciri kepemimpinan yang non-kompromistis. Memang jika kita telusuri jejak keputusan Cak Imin dari soal pindah koalisi menuju tangga bacawapres minggu yang lalu, agaknya jiwa non-kompromistis itu terlihat. Dalam ruang dialog yang begitu sempit dari segi timing, Cak Imin mampu membuat keputusan untuk hengkang dari rumah kediaman KKIR (sekarang Koalisi Indonesia Maju) dan berani merapat ke kediaman baru Koalisi Perubahan. Tanpa banyak kompromi, set sat set, langsung setuju. Itulah Cak Imin. Simple dan tak bertele-tele. Ya, daripada menununggu, tapi tak kunjung pasti di rumah Koalisi Indonesia Maju.
Apesnya, dua hari pasca deklarasi, sosok non-kompromistis ini, langsung diberi "alert" oleh KPK. Teriakan KPK untuk Cak Imin dikonsumsi semua masyarakat Indoneisa. Teriakan KPK, hemat saya, tentu "mengubah" suasana euforia sesaat Cak Imin pasca deklarasi capres-cawapres. Teriakan KPK tak tanggung-tanggung harus dijawab segera, mengingat tiket Cak Imin mulai dicetak. Cak Imin pun, tak punya pilihan. Sebagai bacawapres, Cak Imin harus memperlihatkan gesture yang baik di depan publik. Sikap, perilaku, gesture, dan tutur kata Cak Imin mulai dicetak tebal. Sekali meleset, Cak Imin terpeleset.
Pemanggilan Cak Imin oleh KPK memang bukan hal biasa-biasa saja. Hermeneutika kecurigaan saya, agaknya cukup sulit untuk diredam ketika jejak masalah yang di-up ke publik terkait Cak Imin, sudah terjadi 11 tahun yang lalu. Memakai logika apapun, hemat saya ini sesuatu yang extraordinary. Mantan Komisioner KPK Saut Situmorang  bahkan menilai bahwa pemanggilan Cak Imin oleh KPK sarat nuansa politis (metrotvnews.com). Modus menjelang Pemilu, kasusnya memang dicari-cari. Saut juga menilai bahwa transparansi, akuntabel, dan bebas dari intervensi politik merupakan tiga syarat pemberantasan kasus korupsi. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, iga syarat ini kian memudar. Selain Saut Situmorang, Mantan Ketua KPK Abraham Samad juga menilai pemanggilan Cak Imin kental muatan politis. KPK tak punya pilihan, selain memanggil Cak Imin.
Dari rentetan peristiwa ini, pertanyaan besarnya adalah "Kenapa kasus yang melibatkan Cak Imin toh baru sekarang diungkit?" Pertanyaan ini hanya bisa dijawab KPK. Menurut KPK, Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) sudah dilayangkan pada bulan Agustus sebelum Anies-Muhaimin dideklarasikan pada Sabtu (2/9/2023). Artinya, sebelum dideklarasikan, Cak Imin sudah bisa dipanggil KPK. Jika memang Sprindik sudah dikeluarkan sejak Agustus, alasan apa yang membuat KPK menunda pemanggilan Cak Imin? Di balik semuanya ini, sekali lagi, tafsiran jauhnya, ya memang unsur politis tengah melekat. Cak Imin mungkin dipanggil untuk "memporak-poranda" jalannya peta pencalonan menuju tangga Pilpres 2024. Apa yang aneh di benak publik adalah soal rentang waktu kasus dan pemanggilan. Kasus yang terbit tahun 2012 dan terbenam tahun 2013, kini tiba-tiba terbit untuk kedua kalinya di tahun 2023.
Hemat saya, Cak Imin, saat ini seperti dikepung dua kata berbahaya: dipanggil dan dikejar. Dari rumah KPK, Cak Imin kelihatannya tengah dipanggil dan Cak Imin memenuhi panggilan. Akan tetapi, dari sisi politis, Cak Imin sebetulnya tengah dikejar, tetapi menariknya Cak Imin tak lari. Cak Imin kooperatif dan mau dimintai keterangan. Di balik semua situasi ini, pasti ada agenda tertentu yang hendak dipermainkan. Menuju kontestasi Pilpres 2024, suhu politik Tanah Air memang cukup gerah. Musim panas politik Indonesia saat ini memang tengah menguji kandidat, partai politik, dan masyarakat yang akan memilih. Pertanyaan terakhir yang mungkin bisa dibawa ke ruang refleksi kritis kita berikutnya adalah "Kenapa KPK tak memanggil Cak Imin ketika masih bergabung di Koalisi Prabowo?"
 Â