Penyelenggaraan Pemilu 2024 dikabarkan akan menelan anggaran sebesar Rp 76,6 triliun untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Rp 33,8 triliun untuk Bawaslu. Bujet ini tentunya sangat fantastis. Jika anggaran untuk penyelenggaran Pemilu sefantastis ini, berapa kira-kira dana yang akan dikucurkan oleh para kandidat untuk terjun ke Pemilu 2024 nanti? Hemat saya, peluang "money politic" pun tidak bisa dibendung.
Meng-order sesuatu bukanlah hal baru yang dipraktikkan oleh masyarakat zaman sekarang. Biar praktis, semua kebutuhan masyarakat saat ini justru mudah didapat dengan sistem meng-order. Bahkan untuk mengisi rasa lapar pun, seseorang tidak harus membutuhkan waktu yang banyak. Ia tinggal meng-order dan menunggu pesanan tiba. Hal yang sama juga akan diterapkan pada Pemilu 2024 nanti. Mengorder suara untuk kebutuhan pileg, pilgub, dan pilpres justru akan diterapkan oleh banyak kandidat. Suara bisa di-order dan dibarter dengan uang. Di sinilah "politic uang" bermain.
Politik uang (money politic) adalah salah satu tantangan terbesar yang akan mucul di ajang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Menurut Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), politik uang dikategorikan sebagai salah satu tantangan yang harus diwaspadai menjelang Pemilu 2024. Bawaslu bahkan menempatkan problem "money politic" ke dalam indeks kerawanan Pemilu. Politik uang hingga saat ini masih dinilai sebagai strategi politik yang sangat merusak moral bangsa dan nilai-nilai demokrasi. Dalam bilik demokrasi, politik uang membuka celah baru munculnya praktik-praktik ketidakadilan sosial lainnya.
Peluang munculnya praktik "money politic" pada kontestasi Pemilu 2024 justru akan ditengarai oleh adanya isu persaingan politik yang semakin ketat. Pemilu 2024 bahkan dilihat sebagai salah satu ajang pesta demokrasi yang benar-benar menguras segalanya. Gema kemunculan pemimpin-pemimpin baru justu akan terlihat di Pemilu 2024. Pemimpin-pemimpin muda bahkan lebih banyak bermunculan dan berani mencalonkan diri, meski pengetahuan politiknya (political knowledge) masih minim. Kehadiran pemimpin baru inilah yang bisa menjadi pemicu lahirnya strategi politik yang kotor (money politic) para politisi incumbent. The new comer dilihat sebagai pengganggu kenyamanan dinasti politik oleh para "incumbent." Â
Pada Pemilu 2024, para calon dari golongan tua akan mengalami kewalahan untuk menarik simpati masyarakat. Kasus-kasus yang menimpa banyak politisi senior belakangan ini (korupsi, skandal, serta kasus-kasus besar lainnya) membuat masyarakat enggan untuk melirik. Stigma yang menimpa para politisi senior ini justru digunakan oleh para pemimpin muda untuk menyisipkan materi kampanye dalam membuat perubahan baru.
Akan tetapi, upaya melengser para politisi tua ini bukanlah pekerjaan yang mudah. Pengalaman politik yang cukup lama dialami para politisi tua justru membuat dinasti mereka semakin kokoh. Dari segi "bargaining politic" para sesepuh ini akan menggunakan segala cara dalam memperkuat kerajaannya. Salah satunya adalah melalui maneuver politik uang. Uang dijadikan sarana ampuh untuk mematahkan semangat para pendatang di lahan perpolitikan.
Peta permainan politik pada kontestasi Pemilu 2024 bukanlah sebuah ajang petarungan yang biasa. Tidak seperti pada tahun-tahun Pemilu sebelumnya, kontestasi Pemilu 2024 akan lebih sengit. Pemain-pemain baru akan muncul di mana-mana. Modal nekat dan intrik pemecah suara akan riak di berbagai ruang pertarungan. Menariknya, pada saat yang sama, uang ikut dipakai sebagai manuver utama untuk mempermudah tangga menuju kursi kekuasaan.
Strategi beli-beli suara akan dipermainkan di hari-hari menuju pencoblosan. Intriknya pun mungkin akan lebih gila. Salah satunya adalah dengan modus isi token listrik. Modus baru ini cukup berbahaya karena mekanismenya tidak terlalu mencolok. Para calo pemburu suara terakhir ini semakin hari semakin dibekali pengetahuan tertentu agar agenda politik transaksional bisa mulus diterapkan.
Modus praktik politik uang akhir-akhir ini memang cenderung beragam. Umumnya praktik politik kotor ini akan bergerak satu atau dua hari sebelum pencoblosan berlangsung. Masing-masing Kepala Keluarga akan diberikan sejumlah uang agar patuh pada oknum yang meng-order suara.
Menurut Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amir Arif, politik uang telah membuat kegiatan politik berbiaya mahal. Mahalnya biaya politik ini mendorong para kandidat jatuh pada praktik jual-beli suara. Jual-beli suara (vote buying) dijadikan tol menuju kursi kekuasaan karena dianggap mudah dan praktis. "Vote buying" akan dilunasi ketika kandidat berhasil duduk di kursi kekuasaan. Ketika sudah di kursi kekuasaan, mustahil rakyat yang sudah dibeli suaranya akan dilirik. Rakyat akan menerima kenikmatan sesaat, sementara oknum pembeli suara justru merasa sejahtera dengan semua yang diterimanya selama masa jabatan lima tahun.