Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Martabat Manusia di Balik Sindikat Perdagangan Orang

1 Agustus 2023   15:21 Diperbarui: 1 Agustus 2023   15:29 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Beberapa tersangka kasus sindikat perdagangan orang. Sumber: https://mediaindonesia.com/.

Dalam setahun, jumlah kargo pengiriman jenazah dari Malaysia dan beberapa negara di Asia Tengara ke Bandara El Tari Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) selalu melonjak. Sedihnya, jenazah yang dikirim, kadang tanpa identitas yang jelas. Bahkan, ada jenazah yang tiba dengan kondisi tubuh yang mengerikan akibat beragam tindakan kriminal. Koordinator Anti-Perdagangan Manusia NTT Suster Laurentina, PI sempat membeberkan rasa keperihatinannya terhadap tindakan perdagangan orang yang menyasar remaja di wilayah NTT. Menurut religius Kongregasi Penyelenggaran Ilahi (PI) itu, selama tahun 2017 silam, ada sekitar 300 jenazah yang berhasil diurus di Terminal Kedatangan Bandara El Tari Kupang.

Potret kargo jenazah sebetulnya lahir dari maraknya praktik perdagangan manusia di Indonesia. Jumlah yang diceritakan Suster Laurentina, PI mungkin hanya separuh dari apa yang kelihatan di wilayah NTT, belum terakumulasi data dari seluruh wilayah Indonesia, misalnya dari Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Bisa jadi, di wilayah-wilayah lain akan lebih masif dan memperihatinkan situasi dan kondisi korban, jika ditelisik dari skala tindakan kriminal.

Di wilayah NTT, korban praktik perdagangan orang pada umumnya adalah anak-anak perempuan. Mereka direkrut di kampung-kampung dengan sistem yang masih sangat tradisional -- para calo bersilaturahmi dengan keluarga calon korban melalui pintu budaya atau adat tertentu. Dari perjumpaan singkat dengan keluarga calon korban, berbagi tawaran kerja pun dipetakan oleh para perekrut. Ada yang diiming-iming akan dipekerjakan di luar negeri dan ada pula calon korban yang diberi "opium" terkait gaji yang fantastis. Jualan para pembual ini diobral dan seringkali laku di hadapan para keluarga dan calon korban.

Anehnya, orang-orang yang direkrut adalah anak-anak di bawah umur dan putus sekolah. Ada yang masih berusia 14-16 tahun saat direkrut. Para calon pekerja ini didoktrin sedemikian rupa agar bisa berkolaborasi dengan para perekrut. Misalnya, usianya dimanipulasi agar lolos sensor pihak imigrasi. Anak-anak yang masih di bawah umur pun dilatih untuk menipu terkait identitas dirinya sendiri. Selain usia yang masih anak-anak, para calon pekerja yang direkrut juga tidak memiliki bekal keterampilan apapun sebelum dipekerjakan. Inilah rentetan "beban" yang sudah dipikul para pekerja migran di awal perekrutan.

Semua pola-pola yang terjadi di awal adalah "racun" yang sengaja divaksin ke identitas para calon pekerja migran. Tujuannya adalah agar para calon pekerja migran dengan mudah dibaptis menjadi korban. Mereka dengan mudah ditelusuri ketika hendak kabur dari pukat para calo. Ketika sah dibaptis secara administratif sebagai korban, para calon pekerja migran akan dikirim ke lokasi-lokasi kerja. Kontrak kerja ada di tangan para agen atau calo. Upah yang diberikan pun tidak langsung diterima oleh si pekerja, tetapi menumpuk di tangan agen atau calo.

Dalam rantai dagang ini, uniknya si korban dengan mudah mengakui diri sebagai korban. Dengan berbagai dokumen palsu yang sudah melekat pada identitas pribadi, para korban dengan mudah dijerat hukuman tertentu di wilayah mereka bekerja. 

Minimnya pengetahuan terkait hukum, syarat administratif tenaga kerja, dan skill kerja membuat para pekerja migran ini rentan menjadi korban kekerasan simbolik. Mereka dengan mudah mengakui diri sebagai korban karena alasan ketidaktahuan. Mereka seolah-olah bermain sendiri ketika masuk ke ranah hukum. Semulanya mereka tak tahu apa-apa soal intrik pemlasuan yang mengatasnamakan diri mereka, justru pada akhirnya dipaksa untuk mengakui kesalahannya.

Di sisi lain, kurangnya keterampilan dalam dunia kerja membuat para pekerja migran mendapat perlakuan yang kurang baik dari para majikan. Rata-rata pendidikan para calon pekerja migran adalah Sekolah Dasar (SD) dan tanpa pengalaman kerja. Ketika diminta untuk bekerja, dengan teken kontrak yang mahal dari para calo, para pekerja migran justru mendapat banyak kesulitan. Misalnya, pekerja A diminta oleh majikan untuk menyeterika pakaian majikannya yang terbuat dari kain yang tak tahan panas. 

Dengan skill seadanya, si pekerja A bisa saja lalai dan membuat pakaian majikannya rusak. Si pekerja mungkin tak paham menggunakan setrika dengan ukuran suhu panas tertentu saat menyetrika. Alasan-alasan sepele ini, hemat saya bisa menjadi awal mula tindakan penyiksaan terjadi.

Tindakan penyiksaan akan berulang terus-menerus ketika si pekerja belum bisa memantapkan skillnya dalam waktu yang cepat. Dari hal semacam inilah, amarah majikan memuncak dan penyiksaan mulai muncul kembali. Bahkan, karena faktor yang sama, yakni minimnya pengalaman kerja, ada majikan yang tak segan-segan melakukan tindakan tak terukur lainnya kepada si pekerja, seperti melukai tubuh pekerja dengan senjata tajam. Meningkatnya jumlah kargo jenazah yang terlihat saat ini, sejatinya lahir dari rentetan peristiwa bergejolak seperti ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun