Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menjaga Marwah Mahkamah Konstitusi di Era Post-Truth

16 Juli 2023   10:28 Diperbarui: 16 Juli 2023   10:32 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: https://news.republika.co.id/.

Lika-liku perjalanan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia selama kurang lebih dua dekade belakangan ini merupakan sebuah peristiwa monumental yang tidak bisa dilepaspisahkan dari rengkuhan sejarah. Selama 20 tahun, sejak berdirinya pada 13 Agustus 2003 sebagai sebuah lembaga pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi (MK) telah melewati beragam situasi dan kondisi yang sangat bersejarah. Kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman sejatinya memberikan kontribusi tersendiri bagi seluruh dinamika bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu sumbangsih berharga lembaga kekuasaan kehakiman ini adalah menjaga amanah bangsa dan negara dalam mengawal konstitusi dan pilar demokrasi.

Keberhasilan Mahkamah Konstitusi dalam mengawal konstitusi, sejatinya tidak lepas dari banyaknya benturan kepentingan, tantangan politik, dan intervensi kekuasaan yang selalu mengapitinya. Dalam catatan perjalanannya, Mahkamah Konstitusi pernah diterpa badai korupsi yang mengantar mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (2013-2013) Akil Mochtar masuk pukat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain tantangan terkait korupsi, Mahkamah Konstitusi juga perlu mengawal diri berhadapan dengan intervensi politik dan rezim yang tengah berkuasa. Di era post-truth, dimana kebohongan diagungkan sebagai sebuah kebenaran baru, upaya mengakal-akali kekuasaan adalah hal yang lazim digunakan oleh para penguasa. Hemat saya, momen era post-truth inilah yang menjadi salah satu tantangan yang perlu diantisipasi oleh Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi berwibawa di tahun yang akan datang.

Perjalanan 20 Tahun Mahkamah Konstitusi

Pada tanggal 13 Agustus 2023, Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman memasuki usia 20 tahun. Di usia yang masih relatif muda ini, Mahkamah Konstitusi sejatinya tengah memasuki masa-masa "pubertas." Masa "pubertas" merupakan istilah yang sengaja disematkan untuk memberikan penjelasan tentang suatu fase dimana manusia mengalami beragam gejolak dalam hidup. Hal serupa, hemat saya juga dialami oleh Mahkamah Konstitusi. Di usianya yang ke-20, Mahkamah Konstitusi akan mengalami beragam gejolak, perlawanan, tantangan, dan upaya menuju pendewasaan.

Menuju masa pendewasaan, sebagai sebuah lembaga yang mengawal supremasi konstitusi, Mahkamah Konstitusi telah melewati situasi-situasi terpuruk dalam perjalanan sejarahnya. Dari segi profesionalitas kepemimpinannya, penangkapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia periode 2013-2013 Akil Mochtar misalnya, telah menjadi salah satu poin krusial yang menunjukkan bahwa kewibawaan Mahkamah Konstitusi tengah dipertanyakan. Akil Mochtar kala itu ditangkap karena terlibat dalam kasus suap Sengketa Pilkada yang melibatkan beberapa Kepala Daerah di Indonesia.

Sebelum Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terseret kasus suap (2003-2013), Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga pengawal konstitusi justru memasuki periode gemilang. Pada masa itu, Mahkamah Konstitusi mampu memutuskan berbagai persoalan terkait judicial review sesuai dengan konstitusi dan harapan bersama bangsa dan negara. Para mantan ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, yakni Jimly Asshiddiqie (2003-2008) dan Mahfud MD (2008-2013) mampu menjaga marwah Mahkamah Konstitusi hingga selesai periode kepemimpinannya. Dalam hal ini, satu dekade awal lahirnya Mahkamah Konstitusi, bisa dilihat sebagai masa pembentukan "jati diri" Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah institusi.

Presiden menyalami para hakim konstitusi. Sumber: https://www.presidenri.go.id/.
Presiden menyalami para hakim konstitusi. Sumber: https://www.presidenri.go.id/.

Fenomena pergantian pemimpin tentunya mengubah arah dan mekanisme perjalanan Mahkamah Konstitusi. Setelah diterpa masalah suap yang dilakukan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar pada 2013, upaya pembenahan internal lembaga mulai dilakukan. Pucuk kepemimpinan lembaga kemudian berada di tangan Hamdan Zoelva (2013-2015). Pasca 10 tahun berjalan pasca kepemimpinan Hamdan Zoelva, lembaga penjaga konstitusi kembali diterpa berbagai masalah lainya, salah satunya adalah Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat (2015-2017) mendapat sanksi etik ringan berupa teguran tertulis dari Dewan Etik Mahkamah Konstitusi. Rentetan peristiwa ini, hemat saya merupakan suatu bentuk pendewasaan dan kematangan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Catatan perjalanan Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga, tentunya tidak hanya ditelusur dari postur profesionalitas kepemimpinannya. Isu lain yang menjadi catatan serius adalah sol independensi (netralitas) Mahkamah Konstitusi dalam menangani berbagai perkara terkait peristiwa hukum yang melibatkan institusi negara. Netralitas Mahkamah Konstitusi adalah kekuatan ekstra di balik kewibawaanya sebagai sebuah institusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi perlu menjaga dinamika kerja tanpa intervensi kekuasaan. Lobi-lobi politik yang mengatasnamakan pembagian kekuasaan dan sistem balas budi, seharusnya dikesampingkan dalam ruang lingkup kerja dan tanggung jawab Mahkamah Konstitusi.

Selama dua dekade berjalan, hemat saya, ada dua peristiwa bersejarah yang memperlihatkan bahwa Mahkamah Konstitusi mampu independen dalam membuat kebijakan. Pertama, kasus sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang melibatkan dua kubu yang bersaing, yakni pasangan Joko Widodo-Ma'aruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pada momen itu, netralitas Mahkamah Konstitusi sangat digandrungi masyarakat. Postur keadilan yang diadu di meja konstitusi saat itu menjadi momen dimana Mahkamah Konstitusi benar-benar menjadi pengawal keadilan hukum.

Kedua, momen judicial review Undang-Undang Pemilu terkait Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan mekanisme dua opsi, yakni secara Proporsional Tertutup atau Proporsional Terbuka. Mahkamah Konstitusi saat itu benar-benar diuji secara konstitusional-demokratis. Dalam hal ini, para hakim konstitusi benar-benar ditunggu oleh publik untuk menjaga wibawa dan keobjektivannya dalam menilai serta membuat kebijakan. Isu intervensi politik dan rezim berkuasa sempat bergulir di masyarakat. Akan tetapi, ketegasan komitmen Mahkamah Konstitusi justru diperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Aspek kritis dan keterbukaan justru mendapat apresiasi dari masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan prospek ke depannya -- pasca 20 tahun berjalan? Apakah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal supremasi konstitusi mampu mempertahankan wibawanya sebagai sebuah lembaga yang bebas intervensi? Apakah tantangan di era disrupsi informasi dan era post-truth dengan beragam kekuatannya mampu membuat Mahkamah Konstitusi semakin kokoh atau sebaliknya?

Tantangan Mahkamah Konstitusi di Era Post-Truth

Memasuki usia yang ke-20, tantangan dan gejolak akan semakin melebar. Era disrupsi informasi dan wabah post-truth justru akan menjadi tantangan baru yang akan dihadapi oleh sebuah lembaga, seperti halnya Mahkamah Konstitusi. Di era post-truth, sesuai dengan istilahnya, kebenaran akan mengalami metamorfosis pemahaman. Unsur yang benar-benar diserang oleh era pasca kebenaran (post-truth) ini adalah soal konsep institusionalisasi kebenaran atau pelembagaan kebenaran. Institusionalisasi, hemat saya adalah nadi dari konstitusi itu sendiri. Di era post-truth, orang-orang akan berlomba-lomba untuk mempertanyakan banyak hal -- termasuk hal-hal yang sudah baku dan dikonstitusionalkan.

Perang melawan era post-truth sejatinya akan muncul dalam wujud banjirnya permohonan judicial review atas Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang berlaku di Indonesia. Isu ini mampu naik ke permukaan karena adanya dorongan nafsu kekuasaan rezim berkuasa dan peran intervensi partai politik. Rezim berkuasa dan partai politik yang berkuasa bisa saja menggunakan konsep populis untuk memengaruhi komitmen Mahkamah Konstitusi. Strategi yang sama sudah pernah dilakukan oleh Donald Trump ketika hendak memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Trump dalam hal ini menggunakan suara pendukungnya untuk "memengaruhi" penjaga konstitusi agar menghapus konstitusi negara yang sudah ada. Strategi ini, tentunya memanfaatkan kehadiran era post-truth sebagai senjata propaganda rasionalisasi.

Para hakim konstitusi berdiri di depan gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: https://www.sinpo.id/.
Para hakim konstitusi berdiri di depan gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: https://www.sinpo.id/.

Selain propaganda populis penghapusan konstitusi negara, kekuatan politik mayoritas di parlemen juga seringkali menjadi tantangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat integritas kelembagaan. Ketika kekuatan politik parlemen bersatu dalam memproduksi sebuah Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi justru bisa ditarik untuk tidak memberikan evaluasi. Ketimpangan seperti ini muncul karena Mahkamah Konstitusi terpengaruh oleh beban politik balas budi saat proses rekrutmen hakim konstitusi. Intervensi kekuasaan dalam proses rekrutmen hakim konstitusi juga menjadi cikal bakal lahirnya ketimpangan dalam proses penentuan putusan di Mahkamah Konstitusi. 

Era post-truth juga akan menggerogoti lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi melalui serangan berita bohong atau hoax. Pandemi hoax justru akan menciptakan ketimpangan informasi yang muncul di beranda Mahkamah Konstitusi. Tom Ginsburg dari University of Chicago Amerika Serikat menggarisbawahi mengenai pentingnya kerja sama dengan lembaga independen lainnya dalam menelusuri kebenaran informasi. Kasus-kasus yang melibatkan negara kadang-kadang dibawa ke ranah Mahkamah Konstitusi karena atas dasar perebutan kekuasaan. Kasus-kasus tersebut dibawah tanpa informasi yang jelas dan dukungan fakta yang kredibel. Fenomena seperti inilah yang akan dihadapi oleh sebuah lembaga seperti Mahkamah Konstitusi di masa yang akan datang.

Era post-truth sejatinya akan menjadi tantangan baru bagi Mahkamah Konstitusi dalam berdinamika. Pendakuan konsep kebenaran yang mutlak dari masing-masing pribadi justru menciptakan pandemi disinformasi yang pada akhirnya mampu memengaruhi kewibawaan para hakim konstitusi. Pandemi disinformasi akan me-down grade intuisi keadilan hukum yang sesungguhnya dengan mempropaganda hoax. Publik berharap, Mahkamah Konstitusi bisa bersikap kritis dalam menampung berbagai informasi yang masuk ke bilik perkara. Selain sikap kritis, independensi dan transparansi juga harus menjadi kekuatan Mahkamah Konstitusi dalam memulai perjalanannya di usia yang ke-20.

Harapan Publik

Memasuki usia yang ke-20, masyarakat menaruh banyak harapan kepada Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan visinya yang prospektif, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus mampu menegakkan konstitusi melalui peradilan yang terpercaya. Penegakan konstitusi, dalam hal ini, sejatinya mengarah pada konsistensi penerapan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Banyak tawaran, tantangan, dan intrik politik yang kadang "mengganggu" wibawa dan integritas Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga peradilan. Akan tetapi, sebagai sebuah institusi pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menunjukkan integritasnya melalui upaya peningkatan profesionalitas, transparansi, dan independensi.

Ada beberapa poin yang bisa menjadi input penting bagi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia di usianya yang ke-20. Pertama, Mahkamah Konstitusi perlu meningkatkan literasi pemahaman konstitusi kepada masyarakat. Poin ini menjadi penting agar masyarakat lebih mendalami isi konstitusi negara dan mampu bersikap kritis. Kedua, profesionalitas lembaga Mahkamah Konstitusi perlu diperkuat dengan adanya Undang-Undang yang mengatur secara mendetail terkait kuasa Kehakiman Konstitusi. Ketiga, sebagai lembaga penjaga keseimbangan unsur check and balances, Mahkamah Konstitusi harus bebas dari intervensi rezim berkuasa dan permainan politik. Publik sangat mengharapkan agar Mahkmah Konstitusi tidak menjadi instrumen penopang pelanggengan kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun