Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Menjaga Marwah Mahkamah Konstitusi di Era Post-Truth

16 Juli 2023   10:28 Diperbarui: 16 Juli 2023   10:32 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kedua, momen judicial review Undang-Undang Pemilu terkait Sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dengan mekanisme dua opsi, yakni secara Proporsional Tertutup atau Proporsional Terbuka. Mahkamah Konstitusi saat itu benar-benar diuji secara konstitusional-demokratis. Dalam hal ini, para hakim konstitusi benar-benar ditunggu oleh publik untuk menjaga wibawa dan keobjektivannya dalam menilai serta membuat kebijakan. Isu intervensi politik dan rezim berkuasa sempat bergulir di masyarakat. Akan tetapi, ketegasan komitmen Mahkamah Konstitusi justru diperlihatkan kepada seluruh rakyat Indonesia. Aspek kritis dan keterbukaan justru mendapat apresiasi dari masyarakat.

Lalu, bagaimana dengan prospek ke depannya -- pasca 20 tahun berjalan? Apakah Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal supremasi konstitusi mampu mempertahankan wibawanya sebagai sebuah lembaga yang bebas intervensi? Apakah tantangan di era disrupsi informasi dan era post-truth dengan beragam kekuatannya mampu membuat Mahkamah Konstitusi semakin kokoh atau sebaliknya?

Tantangan Mahkamah Konstitusi di Era Post-Truth

Memasuki usia yang ke-20, tantangan dan gejolak akan semakin melebar. Era disrupsi informasi dan wabah post-truth justru akan menjadi tantangan baru yang akan dihadapi oleh sebuah lembaga, seperti halnya Mahkamah Konstitusi. Di era post-truth, sesuai dengan istilahnya, kebenaran akan mengalami metamorfosis pemahaman. Unsur yang benar-benar diserang oleh era pasca kebenaran (post-truth) ini adalah soal konsep institusionalisasi kebenaran atau pelembagaan kebenaran. Institusionalisasi, hemat saya adalah nadi dari konstitusi itu sendiri. Di era post-truth, orang-orang akan berlomba-lomba untuk mempertanyakan banyak hal -- termasuk hal-hal yang sudah baku dan dikonstitusionalkan.

Perang melawan era post-truth sejatinya akan muncul dalam wujud banjirnya permohonan judicial review atas Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi yang berlaku di Indonesia. Isu ini mampu naik ke permukaan karena adanya dorongan nafsu kekuasaan rezim berkuasa dan peran intervensi partai politik. Rezim berkuasa dan partai politik yang berkuasa bisa saja menggunakan konsep populis untuk memengaruhi komitmen Mahkamah Konstitusi. Strategi yang sama sudah pernah dilakukan oleh Donald Trump ketika hendak memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden Amerika Serikat. Trump dalam hal ini menggunakan suara pendukungnya untuk "memengaruhi" penjaga konstitusi agar menghapus konstitusi negara yang sudah ada. Strategi ini, tentunya memanfaatkan kehadiran era post-truth sebagai senjata propaganda rasionalisasi.

Para hakim konstitusi berdiri di depan gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: https://www.sinpo.id/.
Para hakim konstitusi berdiri di depan gedung Mahkamah Konstitusi. Sumber: https://www.sinpo.id/.

Selain propaganda populis penghapusan konstitusi negara, kekuatan politik mayoritas di parlemen juga seringkali menjadi tantangan bagi Mahkamah Konstitusi dalam memperkuat integritas kelembagaan. Ketika kekuatan politik parlemen bersatu dalam memproduksi sebuah Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi justru bisa ditarik untuk tidak memberikan evaluasi. Ketimpangan seperti ini muncul karena Mahkamah Konstitusi terpengaruh oleh beban politik balas budi saat proses rekrutmen hakim konstitusi. Intervensi kekuasaan dalam proses rekrutmen hakim konstitusi juga menjadi cikal bakal lahirnya ketimpangan dalam proses penentuan putusan di Mahkamah Konstitusi. 

Era post-truth juga akan menggerogoti lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi melalui serangan berita bohong atau hoax. Pandemi hoax justru akan menciptakan ketimpangan informasi yang muncul di beranda Mahkamah Konstitusi. Tom Ginsburg dari University of Chicago Amerika Serikat menggarisbawahi mengenai pentingnya kerja sama dengan lembaga independen lainnya dalam menelusuri kebenaran informasi. Kasus-kasus yang melibatkan negara kadang-kadang dibawa ke ranah Mahkamah Konstitusi karena atas dasar perebutan kekuasaan. Kasus-kasus tersebut dibawah tanpa informasi yang jelas dan dukungan fakta yang kredibel. Fenomena seperti inilah yang akan dihadapi oleh sebuah lembaga seperti Mahkamah Konstitusi di masa yang akan datang.

Era post-truth sejatinya akan menjadi tantangan baru bagi Mahkamah Konstitusi dalam berdinamika. Pendakuan konsep kebenaran yang mutlak dari masing-masing pribadi justru menciptakan pandemi disinformasi yang pada akhirnya mampu memengaruhi kewibawaan para hakim konstitusi. Pandemi disinformasi akan me-down grade intuisi keadilan hukum yang sesungguhnya dengan mempropaganda hoax. Publik berharap, Mahkamah Konstitusi bisa bersikap kritis dalam menampung berbagai informasi yang masuk ke bilik perkara. Selain sikap kritis, independensi dan transparansi juga harus menjadi kekuatan Mahkamah Konstitusi dalam memulai perjalanannya di usia yang ke-20.

Harapan Publik

Memasuki usia yang ke-20, masyarakat menaruh banyak harapan kepada Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan visinya yang prospektif, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia harus mampu menegakkan konstitusi melalui peradilan yang terpercaya. Penegakan konstitusi, dalam hal ini, sejatinya mengarah pada konsistensi penerapan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Banyak tawaran, tantangan, dan intrik politik yang kadang "mengganggu" wibawa dan integritas Mahkamah Konstitusi sebagai sebuah lembaga peradilan. Akan tetapi, sebagai sebuah institusi pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menunjukkan integritasnya melalui upaya peningkatan profesionalitas, transparansi, dan independensi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun