Mohon tunggu...
Kristianto Naku
Kristianto Naku Mohon Tunggu... Penulis - Analis

Mencurigai kemapanan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Manusia Virtual dan Watak Nyicip

24 Januari 2022   11:52 Diperbarui: 24 Januari 2022   11:54 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi manusia virtual. Sumber: https://primaberita.com.

Manusia vitual-digital umumnya doyan nyicip. Ia mirip pembeli yang masuk ke supermarket tanpa membawa daftar belanja. Di sana, semua barang dilirik, dirogoh, dielus-elus, dipijak, dicoba berulang kali, lalu berpindah dari satu produk ke produk lain, sambil tak lupa menyampaikan kata-kata ini: "Aku suka ini atau itu!"

Upps, hati-hati. Jangan terbuai sama kata suka itu. Tak ada komitmen di sana. Ia cuman suka sebentar, karena belum melihat ada yang lebih baik dari yang dilihatnya sekarang. Sebentar-sebentar juga dia beralih. Saya justru mengamini, rupanya ini alasannya, kenapa pelayan di supermarket tak sibuk dengan pembeli yang datang. Kebanyakan pembeli yang datang cuman suka sebentar dan nyicip doang.

Bagi manusia virtual-digital, menyukai satu produk adalah hal yang melelahkan dan membosankan. Dari situlah, mekanisme marketing supermarket "menggerayang" para pelanggannya. Supermarket mengintimidasi pembeli dengan aneka produk. Dunia virtual-digital memperbudak "usersnya" dengan jagat menu hiburan. Mekanisme sama: jika aku tak suka, aku bisa bermanuver dengan budjet "nyicip" atau numpang lewat bentar.

Watak kita sebagai "homo sapiens" sejatinya pelan-pelan berubah. Ketika kontak dengan dunia digital diberi ruang terus-menerus, kita lupa kebiasaan-kebiasaan manusiawi kita. Kita lupa merasa. Semuanya malah tersistematisasi. Semuanya terprogram. Padahal, di bagian "feeling" inilah teknologi tak harus disamakan dengan "homo sapiens."

Benar bahwa "homo digitalis" sebagai sebuah metamorfosis dari kebiasaan meladeni ruang gerak dunia virtual, bukanlah sebuah unsur "I think, therefore I am" (saya berpikir, maka saya ada), tetapi sebuah hasil kalkulasi kebiasaan "I browse, therfore I am" (saya browshing, maka saya ada). Inilah yang mengungkung kebiasaan harian kita akhir-akhir ini.

Kita sejatinya dibuat agar tak lagi mampu merasa. Kita dibuat agar tak lagi capek 'tuk berpikir -- karena berpikir melelahkan, membuang-buang waktu-tenaga. Orang jadinya takut untuk berpapasan secara riil. Di dunia riil, jika aku tak suka, aku justru memakai perasaan dan spasi berpikir untuk menolak. Dan itu, memerlukan ruang yang cukup lebar dan tenaga yang tak kalah lelahnya.

Di dunia riil aku malu menolak. Aku malu bilang aku gak suka. Tapi ketika di dunia virtual, semua unsur manusiawi ini mudah dieja klik. Toh aku juga tak berpapasan. Aku tak kelihatan. Di dunia riil, wajah seseorang tak mudah diskip seperti di layar gadget.

Di dunia virtual-digitalis memang lain. Jika aku berpapasan secara virtual, aku dengan mudah membuat keputusan. Kualitas berpikir dan merasaku dalam hal ini, tak ada gunanya. Jika aku tak suka, aku dengan mudah men-skip, dan itu tak butuh tenaga tuk berpikir, apalagi merasa. Cara berpikirku dalam ruang digital-virtual sudah diinstal cara kerja mesin. Siapa aku, dalam hal ini akan makin identik dengan aku-online. 

Ada yang sangat dangkal, yang justru tak disadari ketika aku identik dengan aku-online. Aku sejatinya benar-benar lupa siapa aku. Jika aku yang menguasai ruang gerak duniaku secara digital lupa soal identitasku, bagaimana dengan orang-orang di sekitarku. Apes. Akusentrisku benar-benar lahir di sana. Secara tak sadar, aku sebenarnya sudah terprogram. Aku sama dengan teknologi.

Bagaimana cara kerja teknologi? Teknologi bekerja dengan data. Ia lahir karena terprogram. Sekali membuat keputusan, kita terjebak di dalamnya. Teknologi tak memiliki perasaan. Ia terprogram untuk mengikuti instruksi. Sedangkan otak manusia tidak demikian. Cara manusia memutuskan selalu melibatkan perasaan. Orang selalu menamakan "chip ekstra" ini dengan sebutan hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun