Bingkisan itu tiba. Bungkusannya hitam. Isinya persis abu-abu. Tak bisa ditebak. Pengirimnya tak sanggup dieja tebakan. Dengan deretan kata yang tertulis menyerupai alamat pengirm dan yang dituju, aku pun mengambil jarak.
Bingkisan itu datang dengan pesan yang relatif singkat: "Ditunggu!" Aku hanya diam. Laptopku sengaja kunyalakan biar aku terkesan tak sendiri. Kenapa "orderannya" hadir dengan bingkisan itu: "Ditunggu!"
Isi bingkisannya kubuka. Aromanya seperti tak asing buatku. Ada dua helai baju. Satu berwarna hitam, satunya lagi putih. Di antara dua lipatan baju ini, kata kunci menyapa ingatanku. Aku pernah menulis hal serupa sebetulnya. Tapi, kapan dan di mana? Itu mungkin lelah untuk diingat. Simpan saja.
Di hari Sabtu, orang sibuk membaca pesan. Ada ucapan terima kasih, adapula peringatan. Aku hanya diam ketika pesan-pesan itu datang dan jauh dicari tahu. Ketika pesan datang, aroma kedekatan santun bersamaku. Aku tak lagi dikecewakan jarak. Mendekati jarak, bagiku adalah sebuah ketakutan. Jangan sampai tak ada lagi yang namanya jarak.
Di hari Sabtu, bingkisan merobohkan jarak sebagai pembatas. Meski ramai karena semua orang pada keluar rumah, saya pun tetap memilih kosakata baru. Lalu-lalang manusia di berbagai pusat perbelanjaan semakin mengular. Dari desain kostumnya, budaya tetap diandalkan.
Saya mencoba 'tuk menangguhkan keinginan agar bisa masuk di dalamnya. Bingkisan, tulisan, dan pesan ditabu perasaan yang menggebu-gebu. Percikan kata "Ditunggu" sungguh mengganggu ingatan dan masa sekarang. Aku harus berbuat sesuatu. Lantas apa?
Belum lama kuletakan bingkisan itu, pesan sang pengirim datang menenun kedekatan.
"Paketnya udah tiba?" Â
"Udah!" aku melempar balasan di kolom chat.
"Jangan lupa diresapi!" katanya sambil memberi notifikasi kalau ia tak lagi online.